Modal utama saya mendaki gunung adalah: kaki. Karena itu saya sangat berhati-hati menggunakan kaki. Jangan sampai cidera, akibatnya bisa sangat fatal bagi seorang pendaki yang berjalan seorang diri. Siapa yang menolong?
Baru berjalan sekitar lima menit dari pos Ndak Tolok Lee, saya bertemu delapan orang pendaki asal Pariaman yang sedang turun. Mereka bercerita, di camp area puncak Robuang tidak ada pendaki lain. Artinya, saya akan benar-benar sendirian.
Puncak Robuang ternyata indah sekali. Tidak terlalu luas, paling muat sekitar 5-6 tenda ukuran besar. Dari sini pemandangan kota Payukumbuh terhampar di bawah. Pemandangan malam pastinya sangat indah: lampu-lampu kota yang terang. Sayangnya, kabut asap menghalangi pemandangan siang-sore ini.
Saya langsung mendirikan tenda. Menghadap ke panorama kota Payakumbuh. Setelahnya masak untuk makan siang.
Jalur ke top Sago ternyata sangat ekstrim. 20 menit yang mendebarkan. Tanjakan curam, beberapa tegak lurus, harus bergelantungan di akar-akar kayu, kadang harus menyusup di celah sempit. Sementara di kiri-kanan jalur jurang yang sangat dalam. Sedangkan sore itu jarak pandang kurang bagus karena kabut asap dan kabut cukup tebal. Benar-benar serem.
Tak lama di puncak, setelah foto-foto sebentar, saya pun kembali turun ke puncak Robuang. Jam baru menunjukkan pukul 16.30 sore, tapi pemandangan di sekitar sudah hampir gelap. Hutan lebat dan kabut cukup tebal membuat jarak pandang makin pendek.