Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Jika Korupsi, Karir PNS Tamat Tanpa Hak Pensiun

11 April 2019   10:00 Diperbarui: 26 April 2019   11:17 1662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi PNS (Foto: KOMPAS.COM/Kurnia Sari Aziza)

Prabowo Subianto melontarkan gagasan akan memanggil dan memberi hak pensiun serta bagi hasil 5% atau 3% bagi koruptor yang bersedia mengembalikan hasil korupsinya dan bertobat. Gagasan Prabowo tersebut disampaikan dalam kampanye Akbar di Gelora Bung Karno, Ahad, 7 April 2019.

Apakah gagasan ini dapat direalisasikan dan bagaimana aturan hukumnya? Tulisan ini tidak menyoal aspek politis dari gagasan Prabowo tersebut, melainkan hanya mencoba menganalisis aspek hukum, khususnya subjek dari kalangan aparatur sipil negara (ASN).

Adalah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengeluarkan Surat Ederan Nomor: 180/6867/SJ tanggal 10 September 2018 tentang Penegakan Hukum Terhadap Aparatur Sipil Negara Yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi ("SE Mendagri").

Inti dari SE Mendagri tersebut: Mendagri menyampaikan kepada Bupati/Walikota seluruh Indonesia agar memberhentikan tidak dengan hormat terhadap ASN yang melakukan tindak pidana korupsi dan telah mendapatkan Putusan Pengadilan Negeri yang telah berkekuatan hukum tetap/inkracht sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

ASN sendiri meliputi PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang berkerja pada instansi pemerintah. Pegawai dengan perjanjian kerja seperti pendamping desa tergolong ASN.

Soal kriteria putusan pengadilan berapa tahun bagi ASN yang diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan tindak pidana korupsi, tidak dijelaskan dalam SE Mendagri tersebut. Karenanya, bupati/walikota atau pejabat pembina kepegawaian (PPK) di daerah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 250 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil merinci empat kriteria PNS diberhentikan tidak dengan hormat. Pasal ini merupakan turunan Pasal 87 Ayat (4) UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Pertama, PNS melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kedua, PNS dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan Jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan Jabatan dan/atau pidana umum.

Per definisi, jabatan itu sendiri adalah kedudukan yang menunjukkan fungsi, tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang pegawai ASN dalam suatu satuan organisasi. Jabatan di sini baik dalam pengertian struktural maupun fungsional.

Ketiga, PNS menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

Keempat, PNS dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.

Dalam pada itu, PNS yang dipidana dengan pidana penjara kurang dari 2 (dua) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana tidak dengan berencana, tidak diberhentikan sebagai PNS apabila tersedia lowongan Jabatan (Pasal 248 Ayat 2).

Sedangkan PNS yang dipidana dengan pidana penjara kurang dari 2 (dua) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan berencana, diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS (Pasal 251).

Mengingat tindak pidana korupsi di kalangan ASN hampir selalu terkait jabatan baik struktural maupun fungsional, maka kecil sekali celah bagi PNS untuk selamat dari jerat SE Mendagri dan Pasal 250 PP 11/2017 tersebut.

Konsekuensi pemberhentian tidak dengan hormat, seorang PNS akan kehilangan hak-hak kepegawaiannya antara lain pensiun.

Dengan demikian tidak ada celah hukum pemberian hak pensiun dan kompensasi bagi hasil 5% atau 3% bagi PNS pelaku tindak pidana korupsi yang bersedia mengembalikan hasil korupsinya dan bertobat.

Atas dasar itulah, bisa dipahami mengapa KPK menolak mentah-mentah wacana pemberian hak pensiun dan kompensasi bagi hasil bagi koruptor. "Kita tidak boleh mentoleransi, walaupun 1 dolar," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, di kantornya, Senin, 8 April 2019.

Selain melanggar hukum, gagasan pemberian pensiun dan bagi hasil bagi koruptor yang bersedia mengembalikan hasil korupsinya dan bertobat, juga berpotensi melahirkan preseden buruk dalam birokrasi pemerintahan.

Betapa tidak, berarti ASN tidak perlu takut korupsi. Sebab, pelaku akan mendapat semacam "insentif" apabila ketahuan dan bersedia mengembalikan hasil korupsi dan bertobat.

Kenyataan berbeda. Sekali saja ketahuan korupsi, lalu diproses hukum, lantas putusannya berkekuatan hukum tetap, maka sangat kecil peluang karir seorang PNS bakal selamat. Yang ada, bersiap untuk diberhentikan tidak dengan hormat dan kehilangan hak kepegawaian termasuk pensiun.  

Tidak ada yang lebih naas bagi seorang PNS, yang telah membangun karir bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, kecuali berakhir dipecat tanpa hak pensiun. Karena itu, tanamkan sikap anti korupsi sejak dalam pikiran.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun