Kabar (tidak) mengejutkan datang dari advokat sekaligus Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra S.H., M.Sc. Diberitakan, Yusril bersedia ditunjuk sebagai kuasa hukum pasangan 01 Jokowi-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019. Yusril menyebut segera akan mendapatkan surat kuasa. Lantas, apa potensi konflik kepentingan dalam hal ini?
Sebagaimana diketahui, Yusril pada saat yang sama masih merupakan kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang melakukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), hingga banding, dan sekarang kasasi ke Mahkamah Agung. HTI menggugat pemerintah Indonesia cq Presiden RI cq Menteri Hukum dan HAM terkait pencabutan status badan hukum HTI.
Dalam hubungan ini, pada satu sisi Yusril mewakili dan memperjuangkan kepentingan HTI. Pada sisi lain, Yusril harus membela kepentingan kliennya, yaitu capres petahana Presiden Jokowi dan jajarannya, yang membubarkan HTI.
Sekalipun pemerintahan presiden Jokowi dan kedudukannya sebagai capres petahana merupakan dua hal yang terpisah, akan tetapi orangnya ya sama, yakni Jokowi, dan materi yang rawan konflik kepentingan ya itu juga, yaitu perihal pembubaran HTI.
Serangan terhadap Jokowi yang membubarkan HTI sangat mungkin terjadi dalam proses kampanye hingga pencoblosan (dan memang sudah terjadi sebelumnya). Selaku kuasa hukum Yusril harus membela Jokowi dalam hal ini.
Solusinya, jika sudah menerima kuasa, Yusril harus mengundurkan diri dari salah satu pengurusan kepentingan tersebut, apakah HTI atau pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Atau, jika belum menerima kuasa dari pasangan Jokowi-Ma'ruf, ya, mengurungkannya.
Pasal 4 huruf j Kode Etik Advokat Indonesia menegaskan, "Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan kepentingan tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan."
Jika tidak mengundurkan diri dari mengurus kepentingan yang bertentangan tersebut, Yusril terancam diberi sanksi sangat berat oleh organisasi, yaitu pemecatan. "Main dua kaki" dalam pengurusan perkara adalah pelanggaran berat tanpa ampun.
Sudah banyak advokat yang diberi sanksi demikian, salah satunya Dr Todung Mulya Lubis. Todung dipecat sebagai advokat oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), 16 Mei 2008 lalu. Alasannya, Todung dinilai telah melakukan pelanggaran berat Kode Etik Advokat Indonesia Pasal 4 huruf j dan Pasal 3 huruf b.
Majelis Dewan Kehormatan Peradi menyebutkan, dalam pertimbangan putusannya, dimana pada tahun 2002 Todung selaku kuasa hukum pemerintah dalam hal ini BPPN untuk melakukan audit terhadap keluarga Salim di antaranya perusahaan Sugar Group Company.
Namun, pada tahun 2006, ketika pemilik Sugar Group Company berperkara melawan keluarga Salim dan pemerintah, Todung justru menjadi kuasa hukum keluarga Salim. Disinilah konflik kepentingan terjadi.