Tersiar kabar kasus Rizieq Shihab terkait dugaan chat mesumnya telah dihentikan (SP3) oleh kepolisian. Kabar itu disampaikan langsung oleh Rizieq dari tempat pelariannya di Mekah, Saudi Arabia. Menyusul kemudian dibenarkan oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Muhammad Iqbal, Minggu (16/6/2018).
SP3 terhadap buronan tersebut tak pelak merupakan pelecehan hukum yang luar biasa, pelecehan marwah hukum yang sulit dipulihkan, dan sekaligus pelecehan terhadap negara hukum!
Betapa tidak, seorang yang telah ditetapkan tersangka, artinya telah cukup bukti, dan jadi buronan, yang dalam kasus ini tersangkanya belum pernah diperiksa karena buron, akan tetapi malah dihentikan kasusnya, tanpa si buronan itu menghadap langsung ke penyidik perkaranya. Pemeriksaan (baca: ngobrol) dengan buron di tempat pelarian tidak dihitung langkah projustitia. Buron tak koperatif malah diberi hadiah SP3. Benar-benar ajaib!Â
Sepengetahuan penulis, dalam sejarah hukum, baru kali ini ada SP3 terhadap buronan, apalagi tanpa si buronan menyerahkan diri lalu diperiksa terlebih dahulu sebelum SP3 dikeluarkan.Â
Untuk diketahui, kasus pidana harus dihadapi langsung, tidak bisa diwakilkan pada kuasa hukum. Kuasa hukum sifatnya hanya memberi pendampingan dan nasehat hukum, bukan mewakili. Tersangka harus diperiksa secara langsung, kecuali tersangkanya gaib tak jelas di mana.
Enak sekali, ketika seorang ditetapkan tersangka, lalu jadi buronan, lantas polisi yang menangani perkaranya menghentikan penyidikan tanpa tersangka menghadap langsung dan diperiksa dulu.Â
Kapolri dan jajarannya perlu menjawab permasalahan alasan SP3 ini secara terbuka. Biar publik tahu. Sekaligus agar tersangka lain bisa mencontoh melarikan diri dulu agar kemudian kasusnya dihentikan (SP3). Makyus, bukan?
Mari kita simak alasan SP3 yang dibolehkan hukum berdasarkan Pasal 109 Ayat (2) KUHAP.Â
Suatu perkara pidana dapat dihentikan penyidikannya apabila dalam perkembangan ternyata tidak cukup bukti; atau perkaranya terbukti tapi ternyata bukan tindak pidana; atau penyidikannya dihentikan demi hukum (karena nebis in idem; atau tersangkanya meninggal dunia; atau perkaranya kedaluwarsa).
Jika dikilas balik, dahulu, masih memungkinkan SP3 dengan alasan karena tidak cukup bukti, sebab dahulu perintah penyidikan bisa dikeluarkan dengan dasar ada laporan dan satu bukti permulaan. Untuk saat ini, secara teknis, alasan begini tak memungkinkan lagi.
Pasalnya, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014, penetapan tersangka dalam penyidikan suatu perkara pidana minimal dengan 2 (dua) alat bukti. Artinya, sejak awal penetapan tersangka sudah cukup bukti.