Dihubungkan dengan kasus chat mesum Rizieq Shihab, penetapan tersangka terhadap yang bersangkutan telah didasarkan pada minimal dua alat bukti. Jadi, di sini, tidak ada lagi istilah "tidak cukup bukti"; buktinya sudah cukup sejak awal penetapan tersangka. Apalagi bila tersangka telah pernah menempuh gugatan praperadilan dan kalah.
Dengan kata lain, penghentian penyidikan untuk konteks pasca putusan MK di atas, dihubungkan dengan Pasal 109 Ayat (2) KUHAP, mestilah menggunakan alasan lain selain tidak cukup bukti.Â
Celakanya, alasan-alasan SP3 lainnya tidak ada yang cocok dengan kasus Rizieq ini. Peristiwa hukum chat berkonten pornografi jelas merupakan tindak pidana. Tidak ada nebis in idem, karena kasus ini belum pernah disidangkan dan berkekuatan hukum tetap sebelumnya. Tersangkanya masih hidup. Dan perkaranya belum kedaluwarsa.
Selain alasan hukum di atas, mengapa SP3 kasus Rizieq Shihab bersifat melecehkan wibawa hukum dan negara hukum, adalah karena publik mempersepsinya sebagai ada deal politik.
Jika dugaan-dugaan di atas benar adanya, maka rusaklah wibawa hukum. Hukum pidana yang harusnya hitam-putih, hanya menyangkut bukti, sekarang tunduk dibawah subordinasi politik. Hukum benar-benar kotor dan menjijikan. Quo vadis, negara hukum?(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H