Salah satu profesi yang paling rakus menggunakan kertas adalah profesi hukum. Walaupun dunia digital sudah sedemikian maju, akan tetapi dunia hukum tetap bertahan dengan pola tradisional dalam penggunaan kertas. Segala dokumen hukum umumnya menggunakan kertas. Dan jumlah kertas yang digunakan sungguh gila-gilaan.
Ambil contoh untuk membuktikan perkara perselisihan hasil pemilihan umum sekitar satu persen suara di suatu provinsi bisa menghabiskan kertas hingga bertruk-truk. Ini baru satu perkara. Saat musim pemilu sering puluhan perkara demikian. Jadilah gedung Mahkamah Konstitusi seperti kapal pecah karena banyaknya kertas yang dibawa ke sana.
Demikian pula semua proses hukum di kepolisian, kejaksaan, kantor advokat, notaris dan pengadilan menggunakan kertas dalam jumlah yang sangat banyak. Satu perkara bisa menggunakan ribuan halaman kertas untuk administrasi perkara, mulai berita acara, surat-menyurat, dan sebagainya. Bisa dibayangkan berapa banyak kertas untuk semua perkara yang sedang berproses di seluruh Indonesia bahkan dunia.
Saking lekatnya dunia hukum menggunakan kertas, sampai-sampai ada ukuran kertas yang khusus berlaku di dunia hukum, yaitu kertas Legal berukuran 21.59 cm x 35.6 cm (8.5 inchi x 14 inchi). Ukuran kertas Legal ini lebih besar dibandingkan kertas Folio 21.59 cm x 33.02 cm(8.5 inchi x 13 inchi). Kertas berukuran Legal itulah yang banyak digunakan dalam dunia hukum di kantor pengadilan, kejaksaan, kepolisian, advokat, dan notaris. Mungkin agar mengurangi jumlah halaman sehingga dipakailah kertas berukuran lebih besar.
Analisis Forest Watch Indonesia (FWI), sebagaimana dilansir dari mongabay.co.id, dari rasio konsesi 4,5 juta hektar hutan, industri kertas masih membutuhkan 3,4 juta hektar hutan alam. Diantara hutan alam yang paling banyak dibabat berada di pulau Sumatera khususnya Riau, Sumatera Selatan dan Jambi.
Bukankah terasa sebuah ironi ketika dunia hukum, termasuk penegakan hukum lingkungan, justru berkontribusi besar dalam kerusakan lingkungan hidup khususnya hutan. Karena 42 persen hasil hutan kayu digunakan untuk pembuatan kertas. 10 juta hektar kawasan hutan Indonesia dimanfaatkan untuk hutan tanaman industri (HTI).
Sebenarnya, sekitar sepuluh tahun terakhir, sudah lazim pengunaan soft copy berupa file dokumen digital digunakan untuk proses berperkara di pengadilan. Akan tetapi, kebijakan ini sama sekali tidak berpengaruh terhadap pembatasan penggunaan kertas. Oleh karena kertas cetak dari dokumen yang diajukan, tetap harus disertakan sebagai dokumen utama.
Pembatasan penggunaan keras dalam berita acara saksi dan tersangka saja diyakini akan mengurangi penggunaan kertas secara signifikan. Belum termasuk penggunaan dokumen-dokumen hukum lainnya yang bisa dibuat dan diajukan secara digital.Â
Secara dasar hukum, untuk membatasi penggunaan kertas di dunia hukum, sudah relatif memadai. Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Perma Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik yang memperkenalkan sistem ecourt dalam proses beracara di pengadilan. Tinggal lagi institusi penegak hukum lain mencontoh.
Di samping itu, UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagaimana diubah dengan UU No 19 Tahun 2016, telah memungkinkan data digital sebagai dokumen atau bukti dalam kasus hukum. Tinggal sekarang bagaimana mengubah paradigma yang dikongkritkan dengan aksi nyata.(*)