Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tiga Isu Etis Hakim Agung Artidjo Alkostar Terkait Perkara Ahok

30 Maret 2018   15:38 Diperbarui: 31 Maret 2018   15:04 6438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akun Twitter @artidjoalkostar

Selama ini hakim agung Artidjo Alkostar dikenal luas sebagai hakim yang berintegritas dan antikorupsi. Putusan-putusannya menjadi momok menakutkan bagi para koruptor. Tak terbilang terdakwa yang mengajukan kasasi divonisnya berkali lipat lebih tinggi dibandingkan putusan sebelumnya. 

Kehebohan menyangkut indikasi masalah etis baru terjadi ketika yang bersangkutan menangani permohonan peninjauan kembali (PK) perkara Ahok. 

Apa yang dipertimbangkan hakim dalam putusan PK tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan hakim Artidjo dkk. Demikian pula menerima atau menolak suatu permohonan PK, sepenuhnya hak hakim yang mengadili. Tulisan ini tidak mempersoalkannya.

Yang dipersoalkan adalah beredarnya pemberitaan bahwa Artidjo Alkostar pernah menjabat Ketua Departemen Hukum dan HAM DPP FPI, berdasarkan penuturan langsung Imam Besar FPI Rizieq Shihab dalam diskusi "Harapan Penegakan Hukum, Fenomena Artidjo Alkostar" di Jakarta, Selasa, 4 Maret 2014, yang diadakan oleh Ikatan Alumni UII (Tempo.co,29/3/2018).

Mungkin hakim Artidjo Alkostar telah membaca berita tersebut dan sengaja berdiam diri tidak menjawab pertanyaan publik seputar dugaan keterlibatan diri dalam kepengurusan Ormas FPI, salah satu unsur pelapor terhadap Ahok.

Di samping itu, beredar pula cuitan akun Twitter hakim Artidjo Alkostar (@artidjoalkostar) membalas cuitan Moh Mahfud MD (@mohmahfudmd), 5 Desember 2016. "Subhanallah #KenapaAhokDibela", cuit akun @artidjoalkostar. Belum jelas apakah akun ini benar akun asli yang dikelola oleh pihak hakim Artidjo Alkostar atau bukan. Namun bila ditilik cuitannya dan orang-orang yang diikuti, terlihat akun ini asli.

Akun Twitter @artidjoalkostar
Akun Twitter @artidjoalkostar
Bila isu independensi ini memang benar atau tidak terjawab oleh hakim Artidjo Alkostar maka keputusan yang bersangkutan dalam perkara PK Ahok menjadi patut dipertanyakan publik dan diragukan kredibilitasnya.

Setidaknya ada tiga poin penting isu etis dalam hal ini berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, sebagaimana tersebut di bawah ini.

Pertama, hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik apabila Hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik tersebut.

Sebagaimana diketahui salah satu unsur pelapor dalam kasus Ahok adalah FPI. Pelapor pertama adalah Novel Chaidir Hasan (Novel Bakmumin) dari FPI dan Gus Joy Setiawan pada tanggal 6 Oktober 2016 (Wartakota.tribunnews.com,3/1/2017).

Jika benar hakim Artidjo Alkostar pernah aktif dalam organisasi FPI, maka tak diragukan lagi indikasi melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Sebuah dugaan pelanggaran yang sangat serius!

Kedua, hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila hakim tersebut telah memiliki prasangka yang berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan.

Dalam hubungan ini, bila cuitan akun Twitter tersebut di atas benar berasal dari hakim Artidjo Alkostar, maka jelas yang bersangkutan telah berprasangka sebelum mengadili perkara tersebut. Dugaan persoalan etis lain yang tidak kalah seriusnya.

Ketiga, hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan.

Jika benar hakim Artidjo Alkostar pernah aktif dalam kepengurusan organisasi FPI, dimana FPI merupakan salah satu unsur pelapor dalam kasus Ahok, maka jelas ada hubungan yang beralasan patut diduga mengandung konflik kepentingan.

Sebenarnya, aturan kode etik sudah memberi solusi mengundurkan diri bagi hakim yang berpotensi konflik kepentingan, bukan malah menerima penunjukan, atau bahkan menunjuk diri sendiri sebagai hakim.

Atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim tersebut di atas lebih lanjut perlu didalami khususnya oleh pihak Ahok bila merasa dirugikan. Bila memungkinkan akan lebih baik dibawah ke Komisi Yudisial.(*)

SUTOMO PAGUCI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun