Menyusul pengajuan peninjauan kembali (PK) Ahok terhadap putusan yang mempidana dirinya dengan pasal penodaan agama, kembali muncul harapan menduetkan Jokowi-Ahok sebagai capres dan cawapres 2019 mendatang. Bagaimana peluangnya?
Tentu saja tergantung pada hasil PK yang diajukannya tersebut. Bila putusan pemidanaan Ahok dibatalkan hakim PK, atau setidaknya dikoreksi dengan mengenakan pasal lain yang ancamannya dibawah lima tahun, maka harapan duet itu kembali bersemi. Selanjutnya terserah Ahok, Jokowi dan partai pendukungnya.
Sebagaimana diketahui, salah satu syarat untuk dicalonkan sebagai presiden, wakil presiden atau diangkat sebagai menteri harus tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukkan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Baca juga: Syarat Ini Ganjal Ahok Jadi Cawapres Jokowi
Untuk memenuhi syarat tersebut di atas, mau tak mau pidana penodaan agama terhadap Ahok (Pasal 156 a huruf a KUHP) haruslah dibatalkan terlebih dahulu melalui prosedur PK, atau setidaknya pasalnya diganti menjadi penistaan golongan (Pasal 156 KUHP) yang ancaman pidananya kurang dari lima tahun.
Bisa dibayangkan, bila duet Jokowi-Ahok terwujud bakal membuat histeris para Jokower dan Ahoker di seluruh Indonesia. Bagaimana tidak, inilah duet idaman kenanangan setelah Pilkada Jakarta 2012 lalu. Denyut politik nasional akan penuh gairah meletup-letup sekaligus penuh kegembiraan. Tapi itu hanya di sisi Jokower dan Ahoker.
Di sisi lawan politik Jokowi, sangat mungkin duet ini akan diserang habis-habisan khususnya melalui tangan kalangan radikal. Indonesia berpotensi dikacaukan dengan demo-demo berjilid-jilid, percobaan kerusuhan dan seterusnya. Sekalipun potensi ricuh politik demikian sedikit berkurang setelah ikon umat 2012 menjadi tersangka, melarikan diri ke Arab dan menjadi buronan.
Kalangan anasir islam puritan dan radikal menjadi punya alasan untuk mengacau. Jika Polri (kembali) tunduk pada tekanan massa, bukan mustahil kekacauan yang diciptakan akan reda tapi dengan tumbal kekalahan duet Jokowi-Ahok.
Pada sisi lain, sangat mungkin pula tidak ada gejolak berarti atas diduetkannya Jokowi-Ahok. Hitung-hitungannya, hanya dengan duet inilah maka Jokowi berpeluang besar untuk dikalahkan, yaitu dengan menghembuskan sentimen agama, tepatnya stigmatisasi politik sebagai "pasangan penodaan agama".
Publik kadang mencari aman saja. Rasanya tidak "balik modal" hanya karena memilih di bilik suara tiba-tiba keluarganya ditolak disolatkan jika meninggal dunia, dikucilkan, dan dicap pendukung penista agama. Hal mana seperti Pilkada Jakarta 2017 lalu.
Mungkin Jokowi dan timnya cukup punya kewaspadaan untuk membaca kode bahaya demikian. Dari pada Indonesia terancam pecah belah, lebih baik mencari pasangan lain selain Ahok, yang memenuhi kriteria, sekaligus dapat diterima luas masyarakat.(*)