"Salah satu penyesalan laki-laki sebelum meninggal adalah, seandainya waktu muda dan kuat aku cukup berpetualang dan bersenang-senang, tidak hanya habiskan waktu untuk bekerja."- Bronnie Ware.
Bronnie Ware adalah penyanyi Australia dan penulis buku Lima Penyesalan Terbesar Ketika Sedang Sekarat (The Top Five Regrets of Dying).
Pada awalnya, hobi bisa saja karena ikut-ikutan kawan, sampai ia meresap dicintai dan mewarnai hidup, selain karena memang dorongan dari dalam, mungkin bakat dan sebagainya.
Dahulu, waktu masih remaja, saya tidak pernah mendaki gunung dan sama sekali tak terpikirkan, sekalipun ada gunung Patah yang butuh dua belas hari untuk mendakinya.
Setelah SMA, di Bengkulu, tahun 1990-an, suatu hari seorang teman bernama Roby Linata mengajak naik gunung Kaba 1.938 mdpl di Kepala Curup, Rejang Lebong. Setelah itu kami sering naik gunung ini secara estafet dari Kota Bengkulu naik truk hingga sampai di Curup.
Setelah tamat SMA, aktivitas naik gunung terus berlanjut, kali ini gunung-gunung sekitar Sumatera Barat khususnya Marapi dan Singgalang. Sama dengan saat SMA, pendakian selalu dilakukan secara berkelompok, tidak pernah sendirian.
Hingga akhirnya tamat kuliah dan mulai sibuk kerja, siang malam. Hobi mendaki gunung pun terbengkalai. Nyaris enam belas tahun vakum mendaki gunung.
Dalam pada itu hobi-hobi lain tetap ditekuni, seperti membaca, menulis, memasak dan lainnya. Tapi hobi-hobi ini konvensional, tidak menguras tenaga dan tidak ekstrim memacu andrenalin seperti halnya naik gunung. Walaupun mengasyikan tapi terasa rutin dan datar.
Sampai suatu hari, beberapa tahun yang lalu, saat dunia pendakian gunung di Indonesia meledak berkat film5 cm(2012), timbul kembali keinginan untuk mendaki gunung.
Tapi peralatan pendakian waktu itu sama sekali sudah tidak ada lagi. Karena itu, sebelum mulai pendakian, saya membeli paket lengkap peralatan pendakian yang meliputi tas carrier, tenda, kantong tidur, kompor khusus pendakian, peralatan survival dan lainnya.
Pertama-tama pendakian dimulai dari gunung Marapi di Tanah Datar, Sumatera Barat. Baru juga berjalan selitar 30 menit sampai ke Pos BKSDA, nafas terasa berat, dada terasa panas dan kedua kaki terasa begitu berat untuk diajak melangkah.
Ternyata, sekalipun saya rutin olah raga lari, senam pernafasan, joging dan lainnya, tetapi sangat berbeda saat mendaki gunung. Di gunung kadar oksigen lebih tipis dibandingkan dataran rendah, jadi paru-paru dan tubuh butuh penyesuaian tiap mencapai ketinggian tertentu.
Jadilah saya berhenti dan ngekem saja ketika sampai di Pos Parak Batuang, masih 2/3 lagi untuk sampai ke puncak Marapi. Di sini saya mendirikan tenda, main masak-masakan, masuk rimba, dan tidur nyaman di dalam tenda. Berangsur tubuh beradaftasi dengan lingkungan baru.
Pada pendakian kedua, saya kembali ngekem di Pos Parak Batuang, cuma bedanya keesokan harinya perjalanan dilanjutkan hingga ke puncak. Setelahnya, mulailah saya rutin mendaki setidaknya sebulan sekali.
Di antara itu, hobi-hobi lain, baik baru maupun lama, tetap berjalan. Pernah pula diselingi semarak hobi batu akik. Hobi sepedaan tetap berjalan. Hobi menulis demikian pula. Dengannya hidup terasa lebih hidup dan semarak.
Tanpa dirayakan pun hidup ini akan terus berjalan dengan segala romantika drama dan masalahnya, jadi mending dirayakan sekalian dengan berbagai hobi. Kalaupun tak sempat, setidaknya jadikan pekerjaan sebagai perayaan hidup dan rekreasi.(*)
SUTOMO PAGUCI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI