Sekarang KPK resmi bagian dari eksekutif dan jadi objek pengawasan DPR. Ambiguitas kedudukan KPK selama ini otomatis berakhir. Demikian Putusan MK No 36/PUU-XV/2017, terkait gugatan beberapa pegawai KPK terhadap Hak Angket KPK oleh DPR, di Gedung MK, Kamis (8/2/2017) kemaren.
Publik segera bereaksi pro dan kontra atas putusan MK tersebut. Editorial media-media besar langsung mengkritisi putusan MK itu, intinya: KPK dinilai  tidak independen lagi karena bisa saja diintervensi kepala negara. Benarkah opini ini?
Bagi penulis, putusan MK itu sudah tepat. Sebab, teorinya, dan faktanya di negara manapun di dunia ini, fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan memang merupakan fungsi eksekutif, di sini KPK mewakili kepentingan negara (dan masyarakat).Â
Sekalipun demikian, tindakan projustitia KPK (sama juga dengan Polri dan Kejaksaan) tetap independen, tidak bisa diintervensi siapapun, termasuk oleh kepala negara.Â
Harus dipisahkan antara kedudukan KPK dalam tata negara dengan kewenangan KPK. Secara tata negara, KPK bagian eksekutif. (Adalah mustahil KPK sepenuhnya independen, terpisah sama sekali dari negara, KPK harus tetap bagian dari negara). Sedangkan secara kewenangan, KPK tetap independen.
Kedudukan KPK bukan negara dalam negara, melainkan tetap bagian dari negara, bagian dari fungsi penegakan hukum eksekutif negara meliputi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi. Kedudukan ini yang diperjelas MK melalui putusannya.
Baru layak disebut KPK dilemahkan apabila kewenangannya yang dipreteli, misalnya tidak boleh lagi menyadap, boleh SP3-kan perkara (dari sebelumnya tidak boleh SP3), dan seterusnya.Â
Kewenangan-kewenangan KPK tetap seperti sedia kala, MK tidak mempersoalkan dan mengamputasi kewenangan KPK. Hanya kedudukan KPK dalam struktur tata negara saja yang diperjelas MK.
Bahwa sekarang KPK menjadi objek pengawasan DPR, yang mana DPR buruk citranya di mata publik sebagai sarang koruptor, adalah hal lain.
Sepanjang kewenangan KPK saat ini tidak diamputasi, tidak ada alasan logis faktual jadi dasar KPK melempem. KPK harus tetap trengginas seperti biasanya. Teorinya, setiap unsur kekuasaan negara harus diawasi oleh unsur kekuasaan negara lainnya (saling awasi).
Mari lihat di Kepolisian dan Kejaksaan, apakah kewenangan projustitianya boleh diintervensi presiden? Kan tidak. Itu di Kepolisian dan Kejaksaan, loh, dengan kewenangan terbatas di bidang penindakan korupsi. KPK harusnya lebih dari Kepolisian dan Kejaksaan, secara kewenangan KPK jauh luar biasa dibanding Kepolisian dan Kejaksaan.