Tas carrier saya biasanya bertambah berat dengan berjejal-jejal bacaan, berkas pekerjaan, buku, buku ajar ilmu hukum, politik, novel dan lain-lain.
Bayangkan, hanya untuk tempat membaca saja saya perlu berkendara berjam-jam, dua hari berjalan naik turun gunung, meringkuk di tenda dalam suhu yang ekstrem dingin dan kadang dihajar badai yang mematikan.
Kadang-kadang butuh suasana berbeda agar bacaan lebih meresap ke dalam jiwa. Membaca di perpustakaan, kamar atau cafe sudah terlalu mainstream. Saatnya mencoba tempat membaca yang baru dan lebih greget.
Demi mendapatkan foto-foto sampah di gunung Kerinci tersebut, saya sekali lagi harus berkendara 10 jam, jalan kaki tiga hari, bermalam di tengah rimba banyak harimaunya, semua demi memfoto sampah.Â
Gunung Kerinci sudah bertahun-tahun dalam status darurat sampah. Sampah ada di mana-mana. Setelah dibersihkan, sampah itu kembali lagi seperti semula, seolah tak ada habis-habisnya. Selama masih ada pendaki, selama itu pula masih ada sampah.
Sampah menggunung di tiap titik tertentu, mulai pintu rimba, Pos 1, Pos 2, Pos 3, Shelter 1, Shelter 2, Shelter 3 dan bahkan hingga di puncak tertingginya. Bukan itu saja, sepanjang perjalanan berceceran sampah seolah menjadi "rambu" penunjuk jalan. Siapa yang peduli?
(SUTOMO PAGUCI)