Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membendung Gerakan Dwifungsi Gaya Baru

26 Desember 2017   12:09 Diperbarui: 27 Desember 2017   17:27 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar terbaru menyebutkan ada lima orang jenderal aktif dari TNI dan Polri yang menyatakan diri siap berlaga di ajang pilkada tahun 2018 mendatang. Ini belum termasuk jenderal yang wait and see angin politik pada pilpres 2019 mendatang.

Kelima jenderal itu adalah Irjen Pol Murad Ismail (Maluku), Irjen Pol Safaruddin (Kaltim), Irjen Pol Anton Charliyan (Jabar), Irjen Pol Paulus Waterpauw (Papua), dan Letjen TNI Edy Rahmayadi (Sumut). Kelima-limanya jenderal aktif di institusi masing-masing.

Kalau dikatakan bahwa maraknya para jenderal terjun ke politik praktis karena parpol gagal melahirkan kader sipil berkualitas, nampaknya argumen itu tidak tepat. 

Toh, partai politik tetap menjalankan perannya seperti biasa, sama dengan era terdahulu, bahkan mungkin jauh lebih baik dan demokratis. Presiden Joko Widodo diantara contoh politisi sipil cemerlang hasil rekruitmen politik yang dijalankan parpol.

Karena itu, fenomena "dwifungsi gaya baru" demikian dinilai mengawatirkan. Pasalnya, jati diri prajurit TNI dan Polri pada dasarnya terlarang keras terlibat dalam kegiatan politik praktis. Ingat, kelima jenderal itu belum resmi mundur, tapi sudah menggalang kekuatan jaringan dan opini untuk maju dalam pertarungan pilkada; jelas-jelas ini politik praktis namanya.

Taroklah, sekalipun mereka sudah resmi mundur beberapa saat sebelum didaftarkan sebagai kontestan calon kepala daerah di KPUD, artinya telah resmi menjadi "sipil", akan tetapi jati diri sebagai prajurit tidak benar-benar dilepaskan. 

Mereka tetap saja jenderal (purnawirawan) dengan jejaring prajurit di berbagai daerah. Sulit dibayangkan mereka begitu lugu tidak akan memanfaatkan pengaruh dan jejaring teman-temannya yang masih aktif.

Ada adagium, prajurit itu selamanya prajurit sekalipun tidak lagi di kesatuan. Mentalitasnya tetap prajurit. Lihat saja para purnawirawan jenderal itu, mereka tetap mengasosikan diri sebagai tentara, aktif dalam organisasi purnawirawan, dst.

Secara aturan hukum tidak ada larangan seorang mantan tentara atau polisi terlibat dalam kegiatan politik praktis karena mereka telah menjadi seorang sipil sesuai prinsip supremasi sipil dalam alam demokrasi. Hak asasi.

Namun, bagi seorang jenderal, yang telah pernah memegang komando cukup tinggi, pernah memiliki anak buah banyak, yang tersebar di berbagai daerah, akan ada kekhawatiran tersendiri, diantaranya memanfaatkan jejaring teman-temannya yang masih aktif dan nota bene bersenjata. 

Ini memang bisa diawasi oleh pengawas pemilu, tapi "gerakan bawah tanah" dalam politik sulit sepenuhnya terpantau.

Mengapa UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Indonesia dan UU No 34/2004 tentang TNI melarang keras prajurit TNI dan Polri terlibat dalam kegiatan politik praktis adalah karena jati dirinya memang bukan didesain untuk pertarungan perebutan jabatan sipil. Mereka bekerja sistem komando dan bersenjata, tidak cocok ikut dalam kontes politik praktis.

Setelah pensiun, para jenderal itu tidak lagi memiliki tongkat komando dan senjata. Itu saja bedanya. Selebihnya masih tetap tentara, terutama mental dan jejaring.

Atas dasar kemungkinan situasi itu, dan agar institusi serta prajurit aktif tidak potensial dibajak dan disalahgunakan, dimana sekali saja terjadi akan menimbulkan kerugian yang sulit dipulihkan, maka sudah saatnya bangsa ini khususnya pembentuk undang-undang untuk memikirkan revisi UU TNI dan Polri.

Diantara revisi itu, misalnya, melarang mantan tentara khususnya yang telah memegang tongkat komando cukup tinggi selevel para jenderal, untuk memegang jabatan sipil dalam lima tahun setelah pensiun, termasuk terlarang mengurus organisasi sipil seperti PSSI dan semacamnya. 

Kondisikan agar prajurit setia dengan tugasnya dan tidak cawe-cawe urusan politik yang merupakan supremasi kalangan sipil.(*)

SUTOMO PAGUCI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun