Sejatinya, gunung tak butuh manusia untuk menegaskan eksistensi atau keberadaannya. Sebaliknya, manusialah yang butuh gunung untuk berbagai alasan, mulai dari ekonomi, ilmu pengetahuan dan rekreasi.
Wisata pendakian gunung merupakan salah satu alasan manusia berinteraksi dengan gunung hingga ke puncak-puncaknya yang tersembunyi. Sayangnya, tak semua pendaki sadar bahwa perlu keterlibatan aktif dirinya agar kelestarian alam di gunung tak ternodai.
Berikut ini lima artikel terpilih tahun 2017 seputar masalah yang ditimbulkan para pendaki, terutama setelah ledakan jumlah pendaki gunung di Indonesia mulai tahun 2000-an. Seandainya gunung-gunung itu bisa menangis mungkin ia akan meratap sedih dan marah diperlakukan seperti ini.
1. Darurat Sampah di Gunung Kerinci
Dengan status gunung berapi berketinggian 3.805 meter di atas permukaan laut, gunung Kerinci menjadi gunung berapi tertinggi di Indonesia dan Asia Tenggara. Secara keseluruhan, indah dan tinggi menjulang. Tak heran gunung ini menjadi tujuan penting para pendaki dalam negeri maupun manca negara.
Sayangnya, gunung ini dari hari ke hari makin banyak sampah. Sampah menggunung di tiap titik tertentu, mulai Pintu Rimba, Pos 1, Pos 2, Pos 3, Shelter 1, Shelter 2, Shelter 3 dan bahkan hingga di puncak tertingginya. Bukan itu saja, sepanjang perjalanan berceceran sampah seolah menjadi "rambu" penunjuk jalan.
Kebanyakan sampah yang ditemui didominasi sampah plastik, yang nota bene sangat ringan untuk dibawah turun kembali, jauh lebih ringan dibandingkan waktu masih berisi saat dibawa naik. Sisanya ada kertas, kain bekas, kaleng, botol, kaca beling dan styrofoam mie gelas, dll.
2. Danau Gunung Tujuh, Indah tapi Jorok
Setelah cerita indah tentang Danau Gunung Tujuh 1.950 mdpl di sini, kini saatnya berkisah sisi joroknya. Katakanlah biar imbang, supaya tulisan wisata tidak melulu berkisah sisi indah, seolah tanpa celah. Harapannya ke depan mudah-mudahan berubah jadi indah tanpa celah.
Sekelebatan, Danau Gunung Tujuh memang sangat indah, tinggi tempatnya dan dalam airnya. Akan tetapi, jika mau mengamati sedikit lebih detail, nah, baru deh kelihatan sisi joroknya. Demikianlah penulis amati selama dua hari dua malam, Jum'at 31/3/2017 sore s/d 2 April 2017.
Sampah-sampah plastik, botol beling dan lain-lain sangat mudah ditemui sepanjang jalan, di pos-pos pemberhentian, di tepi danau, dan terendam di dasar danau. Belum lagi polusi tinja akibat pendaki buang air besar di danau.
3. Banyak Penjahat di Gunung, Tolong Bentuk Satuan Penjaga Gunung
Ledakan pendaki gunung di Indonesia sejak sekitar tahun 2000-an melahirkan dampak kerusakan lingkungan yang luar biasa. Karena itu, perubahan paradigma atau kerangka berpikir terkait perlindungan gunung mutlak diperlukan.
Perubahan demikian dimaksudkan guna mengikuti tantangan kelestarian alam gunung-gunung di Indonesia. Maklumlah, pak/bu, banyak penjahat di gunung.
Selama bertahun-tahun mendaki gunung, penulis belum sekalipun berjumpa dengan personil jagawana atau polisi kehutanan (polhut) berpatroli di sekitar camping ground atau puncak gunung yang ramai di kunjungi peziarah. Padahal, banyak sekali penjahat di sana, pak!
Kejahatan serius yang biasa ditemui dilakukan pendaki gunung diantaranya: buang sampah sembarangan, mencuri edelweiss, berburu binatang, buang air besar (BAB) di sumber air, dsb. Di tempat lain kelakuan begini mungkin bukan kejahatan, tapi di alam yang masih alami, pantas digolongkan sebagai kejahatan serius.
4. Bersikap Sadis pada Pendaki Alay Kadang Diperlukan
Banyak kemungkinan pendekatan terhadap pendaki alay, bisa persuasif, membujuk, menyentuh hati dan logikanya, atau membiarkannya menemukan makna seiring waktu. Atau, bisa juga dengan cara-cara "sadis", terutama bila berangkat dari kebebalan, bukan karena keluguan atau murni ketidaktahuan.
"Pendaki Alay" adalah istilah di kalangan pendaki gunung untuk mengambarkan salah satu atau gabungan ciri pendaki yang hanya ikut-ikutan, korban film, mendaki tak aman, suka mencuri edelweiss, gemar nyampah sembarangan, coret bendera negara, pokoknya stereotipe yang buruk-buruk. Umumnya pendaki berusia anak baru gede (ABG), tapi bisa saja pendaki dewasa.
Terus bertoleransi, menuruti alur dan kemauan mereka tentu saja dunia pendakian bakal kacau. Mencegah kelakuan alay dalam dunia pendakian gunung diyakini akan mengurangi dampak buruk perbuatan mereka. Sanksi sosial yang dapat dikenakan bisa macam-macam, dari persuasif sampai "sadis". Berikut ini apa yang dapat dilakukan terhadap pendaki alay.
5. Revolusi Mental Hingga ke Gunung
Di sinilah urgensi revolusi mental hingga ke gunung, merevolusi mental para pendaki, dari mental suka nyampah sembarangan diubah jadi suka bawa turun sampah; dari mental maling edelweiis diubah jadi mental penyelamat edelweiss; dari mental apatis diubah menjadi peduli dan proaktif; dan seterusnya
Ini sangat mendesak. Pasalnya, hampir semua gunung tercemar sampah, sebagian sumber airnya tercemar tinja manusia, maraknya pencurian edelweiss, dan kerusakan lingkungan akibat penumpukan manusia di satu tempat.
Tahun 1990-an taman edelweiss gunung Marapi, Tanah Datar, Sumatera Barat, masih sangat luas, lebat dan subur. Namun maraknya pencurian edelweiss membuat taman ini terancam punah. Februari 2017 lalu penulis menyaksikan penyusutan jumlah edelweiss yang sangat mengawatirkan.
(SUTOMO PAGUCI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H