Saat melihat aktivitas di dalam sebuah cabang Bank BRI di Padang beberapa waktu lalu, sempat terpikir betapa modernnya peralatan dan tampilan bank saat ini, jauh berbeda dibandingkan saat saya kecil dulu, nun di sebuah desa cukup terpencil di pedalaman Provinsi Bengkulu.
Seingat saya hanya ada satu bank kantor kas di Desa Padang Jaya, Kecamatan Padang Jaya, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, era 1980-1990-an. Bank itu adalah BRI. Sebetulnya, itu satu-satunya bank di kecamatan kami. Sayangnya saya tak punya arsip fotonya, maklumlah keadaan di desa waktu itu yang penuh keterbatasan.
Bank itu berada di kiri jalan raya, dekat simpang empat, di depannya ada lapangan sepak bola. Menempati sebuah rumah bobrok untuk kantornya. Hanya ada dua meja kalau tak salah ingat, tanpa komputer tentu saja, dengan pegawai dua orang dan satu orang diantaranya melayani nasabah.
Di bank itulah saya pertama kali mencatatkan diri sebagai nasabah. Pengalaman pertama jadi nasabah bank. Saya ingat, jumlah tabungan pertama waktu itu adalah Rp12.000, jumlah yang lumayan untuk seorang anak kelas 1 SMP di tahun 1991.
Saya menyodorkan uang dan kartu pelajar dengan disertai kata-kata ingin menabung. Dengan cekatan ibu pegawai Bank BRI itu menerima uang saya, menghitungnya, mencatatkan dengan pena beberapa kalimat dan angka di sebuah buku tabungan yang lebih mirip kartu perpustakaan. Saya telah sah menjadi nasabah bank!
Desa Padang Jaya bukan tempat saya tinggal, melainkan tempat bersekolah di SMP N1 Padang Jaya. Saya tinggal di Desa Margasakti, masih di Kecamatan Padang Jaya itu juga. Jarak Desa Margasakti dengan SMP N1 Padang Jaya sekitar 30 menit bersepeda dengan kayuhan ngebut. Sedangkan jarak SMP N1 Padang Jaya dengan Bank BRI itu sekitar 15 menit bersepeda dengan kayuhan santai.
Di BRI itulah tempat paling dekat untuk menabung. Saat ada mata pelajaran kosong, saya biasa bersepeda ke BRI Padang Jaya. Kadang untuk menabung, lain waktu menarik tabungan. Dengan uang yang ditabung itulah saya bisa membeli buku, tabloid, majalah dan kadang-kadang untuk sekedar jajan.
Supaya mendapatkan uang lebih untuk ditabung, saya dan saudara waktu itu bekerja di ladang sendiri di akhir pekan atau saat libur, memetik kopi dan menjual biji kering ke tengkulak. Kadang-kadang bekerja di ladang orang dengan mendapat upah harian. Pokoknya pekerjaan sampingan apapun yang menghasilkan uang.
Uang recehan dari hasil bekerja sampingan ternyata lebih efektif ditabung di bank. Sebab, jika uang itu disimpan saja di rumah, besar kemungkinan akan "hilang" dengan berbagai cara.
Dengan kerja keras dan menabung demikian saya dapat mengikuti gaya hidup pelajar "zaman old": punya sepeda sendiri, beli majalah, berlangganan tabloid, beli buku ke Kota Argamakmur, Ibu Kota Kabupaten Bengkulu Utara, dan bisa jajan saat mengikuti ekstra kurikuler. Tidak banyak pelajar di desa saya dengan gaya hidup begini.
Sungguh beruntung ada bank BRI di kecamatan tempat kami tinggal waktu itu, jadi ada tempat untuk menabung dan berlatih mengelola uang melalui perantara bank. Memang ada Kantor POS, yang juga bisa untuk tempat menabung, tapi letaknya lebih jauh berkali-kali lipat.
Waktu masih usia SD saya belum bisa menabung, karena jarak Bank BRI dengan desa tempat saya tinggal terasa masih terlalu jauh untuk dicapai. Barulah sejak masuk SMP bisa rutin menabung. Kebiasaan ini terus dipelihara hingga sekarang.
Tahun 2017 ini Bank BRI telah berusia 122 tahun. Sebuah angka usia senior yang matang dan cukup tangguh untuk melayani nasabah dengan sepenuh hati dari kota hingga pelosok desa di seluruh Indonesia. Selamat Ulang Tahun Bank BRI ke-122, bank rakyat yang tumbuh bersama rakyat.(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H