Sudah lima hari si sulung (perempuan, 11 tahun) demam. Hari ke-5 kemaren dokter di Faskes merujuk untuk cek darah. Singkat cerita, hasil cek darah: trombosit 97.000 sel/mm3 (normal 150.000 s/d 450.000 sel/mm3).Â
Dokter IGD sebuah rumah sakit swasta bertaraf internasional, itu, akhirnya memutuskan si sulung harus dirawat. Ya sudah, setelah dapat kamar, saya pergi ke meja pendaftaran.
"Jaminannya apa, pak?," tanya petugas pendaftaran dengan nada pelan hampir terlihat malas-malasan dengan mata terus melihat surat pengantar dari IGD.
Mendengar kata "jaminan", saya tertegun sebentar. Mikir. Hadeh, langsung tanya jaminan, maksudnya apa?
"BPJS, bu," jawab saya singkat sambil menyodorkan kartu BPJS si sulung.
Mbak cantik petugas pendaftaran itu mengambil kartu BPJS, bersama surat pengantar dari IGD, lalu ia inputkan di komputer. Masih terlihat slow, seolah tak semangat.
"Oh, BPJS mandiri ya pak," timpalnya. Kali ini si mbak sudah sedikit bersemangat. Apakah sebelumnya si mbak mengira JKN-BPJS KIS yang ditanggung pemerintah? Tanya saya dalam hati.
Sudah beberapa kali saya mengalami kejadian lebih kurang serupa. Petugas pendaftaran rumah sakit sedikit "kurang semangat" saat mendengar kata "BPJS". Saya tak pernah berusaha untuk menanyakan, cuma mendebak-nebak saja.
Tebakan saya, klaim rumah sakit terhadap BPJS ribet, makan waktu, dan kurang menjanjikan dibanding asuransi swasta atau pembayaran tunai. Nampaknya pula, JKN-BPJS Mandiri lebih mendingan. Itukah yang membuat para petugas rumah sakit sulit bersandiwara sembunyikan hal sebenarnya?
Saya bukan tipe orang yang tergantung pada asuransi, bahkan nyaris anti asuransi, kecuali diwajibkan. Jadilan kami sekeluarga ikut JKN-BPJS pada kesempatan pertama dibuka pendaftaran jalur mandiri (bayar sendiri).
Benar saja. Setelah ikut JKN-BPJS, si anak atau istri sakit sedikit, flu, demam atau gatal-gatal, sudah, langsung minta dibawa ke dokter di Faskes yang berkerjasama dengan BPJS.