Bernafas merupakan inti dari olah raga apapun, termasuk mendaki gunung, bahkan inti dari kehidupan mahluk hidup itu sendiri. Tanpa bernafas maka otot tak mungkin bisa digerakkan dan manusia akan mati. Klise memang, tapi penerapan dalam praktik tidak sesederhana itu. Teknik pernafasan masih sering dianggap remeh.
Kadar oksigen di gunung lebih tipis dibandingkan di dataran rendah; makin tinggi sebuah tempat maka makin tipis kadar oksigennya. Tak heran banyak pendaki, yang sudah biasa mendaki gunung sekalipun, bernafas terengah-engah.
Berjalan dan bernafas saat mendaki gunung terasa jauh lebih berat dibandingkan berjalan dan bernafas di dataran rendah. Untuk menghasilkan tenaga butuh oksigen dan oksigennya itu sendiri yang tipis. Karena itu, teknik bernafas yang benar menjadi penting.
Efeknya, nafas terengah-engah dan tenaga yang bisa diproduksi tubuh menjadi sedikit. Kelelahan amat sangat, salah satunya, akibat salah dalam teknik bernafas.
Berdasarkan praktik langsung di gunung, termasuk inspirasi dari latihan seni olahraga pernafasan seperti Mahatma, Budi Suci dll, serta serangkaian percobaan di gunung, dan berbagai sumber bacaan, penulis merumuskan teknik bernafas yang tepat saat mendaki gunung.
Paling kurang ada tiga cara atau kebiasaan bernafas manusia: pernafasan dangkal/pendek/cepat (dari mulut/hidung hingga dada), pernafasan diafragmatik di bawah tulang rusuk atau hulu hati, dan pernafasan dalam (dari mulut/hidung hingga perut sedikit di bawah pusar).
Teknik  yang cocok saat mendaki gunung, dari pengalaman penulis, adalah pernafasan diafragmatik. Otot diafragma berada di bawah tulang rusuk, berbentuk seperti kubah, mirip payung. Bernafas dengan metode ini butuh tekniknya tersendiri agar hasilnya maksimal.
Inti teknik pernafasan yang baik memang bagaimana caranya mendapatkan oksigen sebanyak mungkin dari tiap udara yang dihirup. Oksigen tersebut akan digunakan untuk proses katabolisme (penguraian) gula (glukosa) dalam darah, sehingga ATP atau Adenosine Triphosphate dapat dihasilkan untuk menyuplai energi buat sel-sel tubuh.
Pernafasan diafragmatik boleh dikatakan ada di tengah-tengah antara pernafasan dangkal dan dalam. Caranya: pakai tiga metode ketukan (1-2-3) waktu bernafas: satu ketukan saat menghisap udara melalui hidung, dua ketukan saat udara ditahan di diafragma, dan tiga ketukan saat nafas dikeluarkan lewat mulut secara berangsur-angsur. Tandanya berhasil, perut di bawah dada akan naik-turun mengempis-mengembang.
Hirup udara melalui hidung (1 ketukan), ini agar udara dapat disaring pertama-tama oleh bulu hidung, tidak semua partikel dapat masuk seperti halnya menghirup udara lewat mulut, tahan di diafragma (2 ketukan), lalu hembuskan perlahan melalui mulut (3 ketukan). Biarkan udara tertahan beberapa saat di diafragma, tidak langsung dihembuskan ke luar.
Variasi lain, bila sulit menghirup udara lewat hidung dan mengeluarkannya lewat mulut, udara dihirup lewat hidung dan dikeluarkan lagi lewat hidung pula. Inipun dalam praktik kadang sulit, karena sering tanpa sadar nafas dihisap lewat mulut dan dikeluarkan lewat mulut pula.
Penerapan saat berjalan memang butuh pembiasaan atau latihan. Rumusnya: tiga langkah berjalan satu kali bernafas diafragma. Otomatis berjalannya tidak bisa (dan memang tidak dianjurkan) secara cepat atau tergesa-gesa. Berjalanlah dengan pelan tapi konsisten, bukan grasa-grusu.
Berjalan terlalu cepat saat mendaki gunung akan mengacaukan pengaturan teknik bernafas dan proses aklimatisasi, yang berakibat sedikitnya oksigen yang terikat dalam darah, sehingga berakibat susulan sedikitnya energi yang dapat diproduksi oleh tubuh. Akibat lain, rawan kecapekan amat sangat, menguap, kram otot, pingsan, stroke dan henti jantung.
Bila teknik bernafas diafragma dilakukan dengan benar, maka aktivitas mendaki gunung akan terasa jauh lebih menyenangkan, lebih bertenaga, dan tidak terlalu terengah-engah. Perjalanan dapat dinikmati dengan maksimal. (*)
SUTOMO PAGUCIÂ
Bila berkenan sila ikuti juga media sosial saya lainnya:
YouTube: https://www.youtube.com/channel/UC_fpP2LuhpRmbO26BkmR27Q
Instagram: https://instagram.com/tompaguciÂ
Twitter: https://twitter.com/tompaguciÂ
Facebook: https://www.facebook.com/sutomopaguci
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H