Ledakan pendaki gunung di Indonesia sejak sekitar tahun 2013 melahirkan dampak kerusakan lingkungan yang luar biasa. Karena itu, perubahan paradigma atau kerangka berpikir terkait perlindungan gunung mutlak diperlukan.
Perubahan demikian dimaksudkan guna mengikuti tantangan kelestarian alam gunung-gunung di Indonesia. Maklumlah, pak/bu, banyak penjahat di gunung.
Hampir tiap gunung berapi di Indonesia diawasi oleh personil dari kantor pengamatan gunung. Gunung Marapi di Sumatera Barat, misalnya, diawasi oleh personil dari kantor Pos Pengamatan Gunung Marapi di Bukittinggi. Di gunung-gunung berapi lain juga ada pengawasnya. Paradigmanya: untuk keselamatan manusia (bukan keselamatan gunung).
Selama bertahun-tahun mendaki gunung, penulis belum sekalipun berjumpa dengan personil jagawana atau polisi kehutanan (polhut) berpatroli di sekitar camping ground atau puncak gunung yang ramai di kunjungi peziarah. Padahal, banyak sekali penjahat di sana, pak!
Kejahatan serius yang biasa ditemui dilakukan pendaki gunung diantaranya: buang sampah sembarangan, mencuri edelweiss, berburu binatang, buang air besar (BAB) di sumber air, dsb. Di tempat lain kelakuan begini mungkin bukan kejahatan, tapi di alam yang masih alami, pantas digolongkan sebagai kejahatan serius.
Tugas penjaga gunung ini berpatroli hingga ke puncak gunung, khususnya yang ramai dikunjungi pendaki, menegakkan hukum, menindak di tempat para pelanggar, dan memproses hukum lebih lanjut tiap pelanggaran serius yang tak bisa dimaafkan. Tugasnya itu saja. Fokus.
Selama ini pencurian edelweiss nyaris tanpa tindakan hukum berarti. Paling-paling pelakunya, itupun jika terciduk basah, akan difoto dan diaplud di media sosial guna efek jera. Tidak lebih. Wajarlah edelweiss gunung Talang, misalnya, sudah nyaris punah.
Malahan, lebih kacau lagi, pernah kejadian pencuri edelweiss, oleh pemerintah setempat atau petugas yang berwenang, diberi penghargaan berupa "duta edelweiss". Gila, enggak, tuh?