Survei Lembaga Indikator Politik Indonesia 17-24 September 2017 lalu menempatkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di posisi tertinggi (17%) di mata warga pemilih untuk mendampingi Jokowi dalam Pilpres 2019 mendatang. Sayangnya, harapan warga demikian terbentur syarat calon presiden dan wakil presiden yang ditentukan undang-undang.
Syarat calon presiden dan wakil presiden yang dipastikan bakal mengganjal Ahok adalah: tidak pernah dijatuhi pidana penjara dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Syarat tersebut tercantum dalam Pasal 5 huruf n UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
"Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: n. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."
Syarat serupa juga tercantum untuk diangkat menjadi menteri, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Ayat (2) huruf f UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Dengan demikian Ahok dipastikan tidak bisa mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden maupun diangkat sebagai menteri. Tiga karir politik tersebut dipastikan sudah tertutup sepenuhnya bagi Ahok, kecuali ada perubahan kedua undang-undang dimaksud.
Sebagaimana diketahui, Ahok telah resmi menyandang status narapidana berdasarkan putusan Pengadilan Jakarta Utara No. 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr, tanggal 4 Mei 2017 lalu, karena divonis bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama dalam Pasal 156 a huruf a KUHP, dimana ancaman pidana pasal ini adalah maksimal lima tahun.
Pasal 156 a huruf a KUHP sendiri selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."
Mungkin ada yang bertanya, Ahok kan cuma divonis 2 (dua) tahun penjara (bukan lima tahun). Sayang sekali, yang dimaksud pasal tersebut adalah 'ancaman pidana' dalam pasal yang didakwakan dan dinyatakan terbukti oleh hakim, bukan lamanya pidana penjara yang dijatuhkan hakim pada terdakwa.
Bisa saja pidananya yang dijatuhkan hakim hanya enam bulan, satu tahun, tiga tahun, atau empat tahun. Namun jika ancaman pidana dalam pasal yang didakwakan dan dianggap terbukti oleh hakim adalah lima tahun atau lebih maka terpenuhilah ketentuan syarat dalam UU No 42/2008 dan UU No 39/2008 tersebut.
Ahok sendiri dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun penjara berdasarkan putusan Pengadilan Jakarta Utara No. 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr, tanggal 4 Mei 2017. Putusan ini sendiri telah berkekuatan hukum tetap dan Ahok telah menjalani masa pidana masuk bulan ke-5 pada saat tulisan ini diterbitkan.
Implementasi ketentuan syarat cawapres di atas berpotensi ada perbedaan pendapat, yaitu: apakah frase "selama-lamanya lima tahun" dalam Pasal 156 a huruf a KUHP sebangun atau beririsan dengan maksud frase "lima tahun atau lebih" dalam Pasal 5 huruf n UU No 42/2008 dan Pasal 22 Ayat (2) huruf f UU No 39/2008?
Menurut penulis, kedua frase tersebut adalah sebangun dan beririsan. Frase "selama-lamanya lima tahun" artinya maksimal atau paling lama lima tahun (rentangnya: satu hari s/d lima tahun) atau sebangun dengan "lima tahun atau lebih" (rentangnya: lima tahun atau lebih).(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H