Taroklah sepertiga saja pengguna media sosial di Indonesia masuk partai sosial media maka artinya sudah mampu kalahkan perolehan suara PDI Perjuangan selaku juara satu dalam pemilu legislatif 2014 lalu.
Dengan paradigma politik luar jaringan seperti sekarang, partai dalam jaringan tentu sulit ikut pemilu dan masuk parlemen, tapi bukan mustahil perjuangan partai sosmed mampu mengisi kekosongan peran partai luar jaringan, di media sosial. Toh, tidak ada juga larangan warganet rangkap anggota partai sosmed dengan partai luar jaringan.
Laporan riset We Are Socialdan Hootsuite, yang dirilis hari Jumat (21/4/2017) lalu, menyebut jumlah pengguna Facebook di Indonesia mencapai 111 juta orang atau nomor empat di dunia, setelah Brazil (123 juta), India (213 juta) dan Amerika Serikat (219 juta).
Secara umum, menurut prediksi lembaga riset pasar eMarketer, jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2017 ini mencapai 112 juta orang atau menduduki peringkat ke-6 dunia, di bawah Jepang, Brazil, India, Amerika Serikat dan China.
Hingga tulisan ini dipublikasikan, setidaknya ada dua partai berbau internet di Indonesia, yaitu Social Media Party (Partai Socmed) dan Partai Ponsel. Sayangnya, perjuangan kedua partai ini tidak jelas dan tidak fokus memperjuangkan visi-misi kehidupan sosial media.
Partai Socmed, misalnya, yang aktif di Twitter dengan akun @PartaiSocmed (tapi tak begitu aktif di Facebook dan flatform media sosial lainnya), malah sibuk mengurusi dunia politik luar jaringan yang dijalankan oleh aktor-aktor politik partai luar jaringan. Bagaimana peran nyata partai ini terhadap kasus-kasus yang menimpa aktivis sosial media seperti dr. Otto Rajassa, misalnya, tidak jelas.
Awalnya, penulis mengira Partai Ponsel akan fokus memperjuangkan kepentingan dunia perponselan, mulai sisi perangkat keras, perangkat lunaknya, hingga pengguna ponsel. Tahu-tahu cuma menjaring fulus, setidaknya yang nampak saat ini, hingga kemudian aktor utama pendirinya, Arwah (Aris Wahyudi), ditangkap polisi. Yang lebih ironis lagi, partai ini memanipulasi sentimen agama.
Yang penulis bayangkan, partai sosial media atau apapun varian namanya, fokus memperjuangkan prinsip-prinsip kebebasan bersosial media, peningkatan akses internet, kecepatan internet, dll namun dengan tetap menaati koridor hukum di dunia maya. Dengan demikian, siapapun aktivis sosial media yang diproses aparat hukum karena aktivitas sosial medianya, akan diadvokasi dan diperjuangkan.
Dalam hubungan ini, terutama untuk aktivis sosial media garis lurus, yaitu aktivis yang menulis atau menyampaikan satire seperti apa yang dilakukan dr. Otto Rajasa, dimana itikadnya baik dan terlihat baik, hanya saja pihak lain menafsirkan satire atau tulisannya sebagai penodaan agama.
Dalam tataran yang tak kalah lebih kongkrit lagi, partai sosial media memperjuangkan revisi UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) agar lebih bersahabat dan melindungi aktivitas bersosial media yang beritikad baik bersamaan melawan pembajakan sosial media untuk tujuan kejahatan.
Cuma saja, hmmm, bagaimana caranya ya? Maklum partai sosmed tak punya wakil di DPR RI. Ohya! Mungkinkah mereka mengirim semacam kertas berisi pokok pikiran yang memiliki argumen kuat tak terbantahkan, dikirim ke DPR RI.
Pokoknya, Indonesia sebagai negara besar dan calon super power dunia tidak boleh kalah dengan New Zealand melalui Kim Dotcom telah melembagakan Internet Party dengan ketua Suzie Dawson dan sekretaris Jo Booth.
Oh tentu. Tidak harus mendirikan partai baru bila partai sosmed yang ada sekarang mampu memberdayakan diri dan meningkatkan power kekuasaan dengan kerja nyata dan berguna buat warganet sosial media.(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H