Kali ini penulis mau cerita sedikit tentang dunia pendakian gunung yang dilakukan secara solo atau sendirian. Bagaimana suka-dukanya. Bagaimana pula seni mengelola pikiran, peralatan, logistik, pengaturan waktu perjalanan, dan mengelola kemungkinan disergap rasa sepi.
Tentang rasa sepi pernah penulis kisahkan di lain waktu. Bahwa, musuh utama solo trip ke gunung atau mendaki solo bukan hipotermia, bukan badai gunung, dan bukan binatang buas. Tapi rasa sepi. Mengapa penulis katakan begitu?
Malam diisi antara lain dengan menikmati api unggun (dokpri)
Rasa sepi bisa datang tiba-tiba, tak bisa diantisipasi. Saat rasa sepi menyergap, tenaga seolah hilang, ngelos, loyo, lemas. Bawaannya pengen pulang, berkumpul dengan keluarga dan teman-teman. Padahal, bisa jadi, saat rasa sepi itu datang, si pendaki sedang di tengah rimba belantara, setelah berhari-hari naik-turun bukit, menyeberang sungai besar, dll.
Dalam budaya Indonesia yang cenderung guyub, apalagi jika karakter seorang pendaki bersifat ekstrovert, maka mendaki secara solo akan rawan dihinggapi rasa sepi demikian. Bagaimana menyiasati hal ini supaya tak terjadi?
Sendirian tapi tidak kesepian (dokpri)
Solitaire but not solitude (dokpri)
Kebetulan penulis belakangan ini lebih sering mendaki secara solo dibandingkan berkelompok. Beda dengan masa-masa SMA dan kuliah dulu, kurun tahun 1990-an s/d 2000-an, yang selalu mendaki dalam group, tak pernah sendirian.
Berbeda dengan rasa sepi, semua kecelakaan digunung pada dasarnya bisa diantisipasi. Faktanya, menurut statistik, kecelakaan fatal waktu mendaki gunung biasanya terjadi pada pendakian secara berkelompok. Sedangkan pendakian secara solo cenderung lebih aman. Ini masuk akal.
Menikmati suasana sambil menunggu sunset (dokpri)
Mengisi waktu dengan main masak-masakan (dokpri)
Saat mendaki secara solo, seorang pendaki bisa mengukur segalanya secara independen seorang diri, mengukur kekuatan diri, mengatur ritme berjalan (kapan berjalan, berapa lamanya, dan kapan istirahat), mengatur peralatan apa yang dibawa sesuai kebutuhan, dan membawa logistik sesuai keinginan. Intinya, pendakian solo cenderung siap-sedia segalanya dengan segala kemungkinan.
Berbeda dengan pendakian yang dilakukan secara berkelompok. Kekuatan masing-masing personil pendakian berbeda-beda. Namun saat berjalan, setiap orang cenderung terkondisikan oleh "ritme bersama". Tak heran jika orang yang paling lemah akan cenderung terus berjalan mengikuti temannya yang kuat, walau tercecer di belakang.
Rasa sepi asalnya dari pikiran (dokpri)
Kuasai pikiran maka rasa sepi bisa dikendalikan (dokpri)
Belum lagi andai terjadi kordinasi buruk terkait pembagian beban peralatan dan logistik. Acap ditemui seorang anggota kelompok pendakian "menang banyak", cuma membawa
daypack kecil, sementara teman-temannya terpaksa membawa peralatan bersama dan logistik di tas
carrier berukuran besar.
Dalam pendakian solo, segalanya diatur sendiri. Seorang pendaki mampu mengukur dan menghitung kekuatan dan apa yang perlu dibawa, dengan presisi. Pasalnya, keselamatan dirinya ditentukan oleh keputusan dirinya sendiri.
Nikmati suasana dan fokus pada detail (dokpri)
Mengapa orang mendaki solo. Bagi penulis, seiring bertambahnya umur, kebutuhan akan privasi ternyata memang bertambah. Tenaga makin berkurang, jadi maunya perjalanan diatur sendiri dengan enak dan leluasa, kapan berjalan dan kapan istirahat, tidak tergantung orang lain.
Begitupun soal makanan, tidak sebebas saat masih muda remaja. Saat memasuki usia paruh baya, makan harus diatur sedemikian rupa, tidak terlalu banyak kalori, lemak jenuh dll sesuai kebutuhan tubuh. Jadi makanan harus diatur sendiri, tidak bisa tergantung pada orang lain.
Alam itu pada dasarnya netral, manusialah yang memaksanya untuk berpihak (dokpri)
Ketenangan dan kedamaian tak perlu dicari di alam, dia ada di hati dan pikiranmu sendiri (dokpri)
Karena sendirian, di tenda juga bebas mau ngapain juga terserah. Mau kentut sepanjang malam bebas-bebas saja. Beda saat mendaki berkelompok, mau kentut saja harus lihat situasi, kadang gas rasanya sudah naik sampai ke kerongkongan.
Jangan salah. Soal kentut ini sangat penting diperhatikan. Pasalnya, saat tenaga diporsir sampai titik batas kemampuan, ditambah cuaca gunung yang super dingin, dan oksigen yang tipis, pencernaan biasanya tidak begitu bagus. Bawaannya pengen kentut terus, apalagi jika makan mengandung gas, seperti pisang, umbi-umbian, kacang, daging, telur, dll.
Namanya mendaki solo, kenikmatan dirasakan sendiri, resiko juga ditanggung sendiri. Segalanya diperhitungkan dan dilakukan sendiri.
Pertama-tama pedaki solo membawa peralatan survival yang relatif lengkap, terutama pisau. Prinsipnya, seorang lelaki tidak pernah sendirian jika ia bersama pisaunya. Jadi pastikan selalu bawa pisau survival. Andai ditanya pendaki lain dengan nada menyelidik, "Sendirian mas?" Tinggal jawab: "Berdua, bersama pisau saya."
Hidup ini dinikmati atau tidak pasti akan berakhir (dokpri)
Pisau survival, teman setia di gunung (dokpri)
Pisau survival berkualitas dan tajam akan menghadirkan efek "teman" yang menimbulkan rasa aman. Pisau itu bisa digunakan untuk menebas semak, memotong ranting, menebang kayu (seperlunya saja) dan berjaga dari binatang buas. Disaat tertentu, pisau menjadi pertaruhan antara hidup dan mati.
Berikutnya, bawa lagu-lagu kesukaan dalam hp, sd card cadangan, speaker bluetooth yang bisa dihubungkan ke hp. Jadi saat ada yang bertanya, "Sendirian mas?" Tinggal jawab: "Tidak, saya bersama Iwan Fals, Roma Irama, ADA Band, Broery Marantika, Enya, God Bless, Adele, Calvin Harris, David Gueta, Guns N'Roses dll."
Mengisi waktu dengan membaca, menulis, termasuk menulis di Kompasiana, dan tiduran (dokpri)
Pastikan memutar musik untuk diri sendiri, tidak keras-keras, sehingga mengganggu binatang liar. Jika memutar musik pakai speaker di
camp ground, pastikan pelan-pelan, tak terdengar luas, dan bukan diwaktu tidur, karena suara akan masuk ke dalam tenda orang lain dan beresonansi seperti suara toa.
Membawa buku bacaan bisa jadi alternatif pengisi waktu di gunung. Buku-buku ringan adalah favorit penulis: tipis dengan tema yang ringan.
Mengisi waktu dengan bacaan ringan (dokpri)
Yang terpenting dari mendaki solo sebenarnya menikmati segala detail selama di perjalanan: hutan, pohon-pohonnya, edelweiss, lumut, burung-burung, karakter jalan, tanjakan, sunrise, sunset, dst. Juga menikmati saat sendiri main masak-masakan. Dengannya di gunung tak akan kesepian.
Cepat atau lambat semua ini akan ditinggalkan (dokpri)
Manusia lahir dan mati tapi gunung ini masih tetap di sini (dokpri)
Seorang pendaki solo menikmati segala kesenangan dan segala kesulitan selama perjalanan. Semua tantangan dihadapi sendiri. Selebihnya adalah pengaturan pikiran, karena kesenangan, kesedihan dan rasa sepi asalnya dari pikiran.
Tak heran jika Jon Krakauer dalam In To Thin Air pernah mengatakan, "Tidak ada pendaki yang lebih dikagumi selain pendaki solo, yaitu pemimpi yang mendaki sendirian."(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya