"Saya ini tak makan uang negara, tidak makan uang fakir miskin, tidak makan uang bansos dan tidak makan uang rakyat," kata Patrialis meradang usai divonis delapan tahun oleh Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (4/9/2017) lalu.
Dari pernyataan Patrialis Akbar itu, menyiratkan bahwa yang bersangkutan merasa tidak korupsi, setidaknya bentuk rasionalisasi atau pembenaran dari perbuatannya yang terbukti di pengadilan, di hadapan publik.
Padahal, UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 jelas-jelas menyebut suap kepada penyelenggara negara merupakan tindak pidana korupsi. Mustahil Patrialis tak tahu itu.
Fakta hukum yang terungkap di pengadilan menyebutkan, Basuki Hariman terbukti memberikan suap US$ 50 ribu kepada Patrialis untuk kepentingan uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dimana US$ 10 ribu diantaranya telah diterima Patrialis untuk biaya umrah.
Yang tak kalah ironis, banyak operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap penegak hukum (oknum polisi, jaksa, advokat dan hakim), juga menyiratkan hal yang sama. Bahwa seolah-olah menerima uang dari orang lain karena jabatan adalah sah-sah saja, maling uang negara yang tidak boleh. Itu penegak hukum loh.
Orang-orang terpelajar dan melek hukum yang terkena OTT perkara suap pasti mengetahui bahwa menerima uang dari masyarakat karena jabatan adalah tidak boleh. Buktinya, mereka menerima uang itu diam-diam, sembunyi-sembunyi, agar tidak ketahuan orang lain atau aparat hukum.
Mengendap-endap waktu menerima suap semata-mata karena takut pada aparat hukum, bukan dilandasi takut karena melanggar norma moral, melanggar nurani terdalam, bahwa menerima pemberian dalam bentuk apapun dalam jabatan pada dasarnya terlarang secara moral dan hukum. Baginya, korupsi yang sejati hanyalah maling uang negara (merugikan keuangan negara).
Nampaknya fenomena ini dapat dijelaskan oleh teori Lawrence M. Friedman tentang sistem hukum. Mengutip Friedman (1984), ada tiga unsur pembentuk sistem hukum: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.
Fenomena di Indonesia saat ini terlihat ada kesenjangan antara perilaku berhukum atau budaya hukum dengan substansi hukum. Di mana substansi hukum, aturan, norma melarang penyelenggara negara menerima suap dari masyarakat.Â
Sementara budaya berhukumnya [sikapnya terhadap hukum dan sistem hukum (kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya)] tidak mencerminkan atau berkebalikan dari substansi hukum.