Ketua KPK Agus Rahardjo ada benarnya. Pasal 21 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat jerat siapapun termasuk Pansus Angket andaikata secara langsung atau tidak langsung mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan, penuntutan atau persidangan perkara korupsi.
"Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)," tegas Pasal 21 UU 31/1999.
Sudah beberapa orang dijerat pasal "obstruction of justice" di atas. Di kalangan politisi ada Markus Nari, anggota DPR periode 2009-2014, yang ditersangkakan karena dianggap menghalangi perkara KTP-e 2011-2012 dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Juni 2017 lalu.
Di kalangan advokat ada Manatap Ambarita, yang ditersangkakan Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, karena dianggap menyembunyikan kliennya, Afner Ambarita, pada tahun 2008 lalu di Padang, Sumatera Barat. Waktu itu Afner Ambarita adalah tersangka korupsi sisa anggaran Tahun 2005 pada Dinas Kimpraswil Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Atas perbuatannya itu, Manatap Ambarita divonis 3 tahun penjara, pada 2010 lalu. Manatap kemudian menjadi buron sewaktu mau dieksekusi dan baru November 2016 lalu tertangkap dan dieksekusi.
Dalam kasus korupsi KTP-e, unsur-unsur Pasal 21 UU 31/1999 tersebut di atas sebenarnya sudah dapat dikenakan pada seluruh anggota Pansus Hak Angket KPK. Apalagi sejak awal dibentuk, KPK telah berpendirian bahwa Pansus Angket KPK ini adalah ilegal.Â
Mungkin karena kasusnya kental bermuatan politis, maka KPK perlu dukungan publik untuk bertindak, sehingga Ketua KPK Agus Rahardjo merasa perlu membuat pernyataan terbuka. Tapi jangan berhenti di pernyataan terbuka, tanpa diikuti aksi nyata.
Tanpa diikuti aksi nyata, ancaman terbuka tersebut tak lebih seperti main-main. Jangan heran jika ancaman itu ditanggapi manuver lucu-lucuan oleh kalangan Anggota Pansus Hak Angket, ada yang main sandiwara minta ditahan KPK sampai mengancam akan mempolisikan Ketua KPK Agus Rahardjo.
Memprihatinkan memang. Penegakan hukum yang harusnya serius dan sakral berubah jadi seperti sandiwara main-main yang tak jelas endingnya seperti apa.
Namun demikian, sebelum KPK benar-benar menjerat seluruh anggota Pansus Hak Angket KPK dalam kasus KTP-e, akankah KPK jerat Direktur Penyidikan KPK Brigjen Aris Budiman terlebih dahulu? Adu cepat, sebelum keduluan.
Pasalnya, berdasarkan wawancara terhadap penyidik senior KPK bernama Novel Baswedan, yang dipublikasikan hari ini (5/9/2017) dan kemaren (4/9/2017), karenanya telah menjadi konsumsi publik, jelas sekali Novel menyebut Brigjen Aris Budiman menghalang-halangi penyidikan korupsi yang melibatkan perwira Polri di KPK.
Sudah jelas semua, tak ada perbedaan berarti antara menghalang-halangi penyidikan yang diduga dilakukan oleh penyidik KPK sendiri maupun anggota Pansus Hak Angket DPR RI. Sama saja. Karena subjek hukum dalam Pasal 21 UU 31/1999 adalah "setiap orang".(*)
SUTOMO PAGUCI
Artikel terkait:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H