Pasal 47 Ayat (1) Perkap 8/2009 mengatur pembatasan penggunaan senjata api: Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia. Di sini jelas-jelas disebut untuk melindungi nyawa manusia. Bukannya belum jelas duduk perkaranya sudah main tembak.
Kemudian pada Ayat (2) disebutkan, senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk: (a) dalam hal menghadapi keadaan luar biasa; (b) membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat; (c) membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
(d) mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang; (e) menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan (f) menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Intinya, senjata api digunakan untuk perlindungan atau ancaman jiwa. Pertanyaannya, seorang tersangka (misalnya pengedar narkoba, teroris, jambret, dll) yang lari dari sergapan polisi, apakah bersifat membahayakan jiwa? Tidak!
Harusnya, polisi tidak langsung main tembak dalam situasi tersangka melarikan diri dari sergapan atau kejaran petugas. Kejar dong. Jangan si tersangka baru juga lari beberapa langka sudah ditembak kakinya. Itu namanya main gampang, polisi malas lari mengejar.
Di sinilah relevansi polisi reserse yang bertugas di lapangan harus jago lari, fisik fit, tidak berperut buncit dan mahir bela diri. Ini agar mudah mengejar dan meringkus penjahat yang melarikan diri.
Berbeda halnya apabila si terduga jelas-jelas mengeluarkan senjata api atau menggunakan senjata tajam melawan ke arah petugas, yang dari hitung-hitungan, dapat membahayakan nyawa petugas. Yang begini wajar ditembak, itupun sifatnya untuk melumpuhkan, bukan membunuh. Kata kuncinya: penghargaan terhadap nyawa manusia, sekalipun tersangka kejahatan.
Sering kejadian tersangka melarikan diri ditembak petugas. Alasannya, tersangka tetap lari setelah diberi tembakan peringatan. Jika mengacu pada konsep Perkap 8/2009, kejadian begini tidak dapat dibenarkan. Jika tersangka lari, ya, dikejar. Bukan main tembak.
Demikian pula halnya andai tersangka hanya melawan pakai tangan kosong, jadi bisa dilawan pakai tangan kosong pula atau pakai alat tongkat pemukul, sewajarnya polisi tidak langsung main tembak. Intinya: hargai HAM nyawa manusia.
Menembak tersangka tanpa ada urgensi bertendensi sebagai "hukuman" sebelum hakim memutuskan. Ini jelas pelanggaran HAM atau bentuk kejahatan yang harusnya dihindari oleh setiap penegak hukum. Satu dan lain hal, kematian tidak bisa dikoreksi dan nyawa tak bisa diganti.(*)Â
SUTOMO PAGUCI