Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kejar-kejaran Dulu, Jangan Langsung Main Tembak!

29 Agustus 2017   07:55 Diperbarui: 29 Agustus 2017   18:47 5137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di negara maju jarang kita menonton pemberitaan tersangka terpincang-pincang akibat ditembak kakinya. Sebaliknya, yang banyak muncul di berita televisi, rekaman CCTV, bahkan film: polisi kejar-kejaran dengan tersangka sampai lama dan jauh.

Saking serunya kejar-kejaran, polisi kerahkan banyak mobil, motor, sebagian lari jalan kaki, bahkan pakai helikopter. Tersangka akhirnya terpojok dan diringkus. Polisi tidak menembak walaupun dengan mudah dapat melakukannya.

Kesannya berbeda di Indonesia. Coba perhatikan. Jika kebetulan berada cukup lama di kantor polisi, pemandangan yang lazim terlihat adalah tersangka datang terpincang-pincang akibat ditembak pada bagian kaki. Pokoknya tersangka baru lari beberapa langkah langsung ditembak.

Dalam berita televisi juga sering melihat tersangka yang ditembak kakinya, berjalan terpincang-pincang dengan kaki diperban putih, sebagian dipaksa naik mobil bak terbuka. Ketik saja kata kunci "penjahat ditembak kakinya" di Google akan muncul banyak sekali berita dan gambar.

Banyak juga kejadian sasaran tembakan polisi meregang nyawa akibat terkena bagian vital dari tubuhnya atau akibat perdarahan hebat. Dengan ringan polisi akan beralasan: penembakan sudah sesuai prosedur.

Mungkin di antara kita masih ingat kejadian tragis di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Rabu (19/4/2017) lalu. Empat orang terluka dan seorang penumpang Honda City bernama Surini (54) meregang nyawa akibat diberondong senjata otomatis oleh polisi. Alasan polisi, pengemudi Honda City melarikan diri waktu dirazia.

Dalam kejadian di Lubuk Linggau tersebut, polisi bahkan belum melihat jelas siapa pengemudi dan penumpang Honda City yang dirazia, tapi langsung main tembak. Jelas sekali polisi hanya berasumsi.

Bayangkan, sedemikian mudah polisi menembakkan senjata api hanya berdasarkan asumsi. Nyawa manusia seakan tak ada harganya. Asumsi bahwa di dalam mobil ada penjahat sehingga sah untuk ditembak, juga perwujudan dari rendahnya penghargaan terhadap nyawa manusia. 

Ini sebenarnya soal sikap mental, paradigma, wawasan dan penghargaan terhadap nyawa manusia. Dalam bahasa lain: ini soal rendahnya penguasaan konsep hak asasi manusia (HAM) dalam tugas. Coba, jasad manusia saja wajib dihormati, apalagi manusia hidup bernyawa.

Sekalipun sudah ada peraturan penggunaan senjata api dalam tugas, bahkan telah berperspektif HAM, namun karena sikap mental belum berubah atau menyesuaikan diri maka kenyataan di lapangan menjadi berbeda dibandingkan konsep ideal yang dimuat peraturan.

Peraturan Kapolri (Perkap) No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Indonesia, khususnya Pasal 45-49, telah mengatur dengan tegas dan limitatif menyangkut penggunaan senjata api.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun