Dari lokasi hijrah (pelariannya), Rizieq Shihab menilai kasusnya sarat politis dan minta polisi menghentikannya. Pada kesempatan lain, Rizieq menyebut bukti kasusnya direkayasa. Atas dasar itu, melalui penasehat hukum, Sugito, Rizieq akan ajukan permohonan SP3.
Tulisan ini mencoba mengurai alasan yuridis-teoritis penghentian penyidikan suatu perkara pidana. Kemudian mempadankannya dengan alasan SP3 yang akan diajukan Rizieq. Apakah memenuhi syarat?
Alasan SP3
SP3 merupakan singkatan dari Surat Perintah Penghentian Penyidikan, yang dikeluarkan oleh penyidik (kecuali penyidik KPK), dan ditujukan pada jaksa penuntut umum pada kejaksaan negeri setempat, tersangka atau keluarganya.Â
Mengapa SP3 ditujukan pada penuntut umum, adalah karena sistem penyidikan perkara pidana di Indonesia menempatkan penuntut umum sebagai "pengawas" dari suatu penyidikan.Â
Karena itu, saat suatu perkara naik dari tahap penyelidikan ke penyidikan maka penyidik menyampaikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) pada penuntut umum di kejaksaan negeri setempat.
Alasan SP3 merujuk pada beberapa pasal dalam KUHAP dan KUHP. Namun dasar hukum utamanya ada pada Pasal 109 Ayat (2) KUHAP, yakni: (1) karena tidak cukup bukti atau (2) peristiwanya ternyata bukan merupakan tindak pidana atau (3) penyidikan dihentikan demi hukum.
Terkait alasan pertama, berupa tidak cukup bukti, terkait konsep penetapan penyidikan dan tersangka dalam KUHAP yang hanya cukup dengan alat bukti permulaan, yang kelak dilengkapi dalam proses penyidikan. Hal mana kemudian dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi (MK).Â
Alasan penyidikan dihentikan demi hukum apabila (alternatif atau komulatif): (a) tersangka meninggal dunia (Pasal 77 KUHP), (b) perkaranya pernah disidangkan dan telah berkekuatan hukum tetap (nebis in idem) [Pasal 76 Ayat (1) KUHP), (c) perkaranya telah kedaluwarsa (verjaring) (Pasal 78 KUHP), atau (d) pencabutan pengaduan dalam perkara delik aduan (Pasal 75 dan 284 Ayat (4) KUHP).
Perkembangan baru
Belakangan, penyidikan perkara pidana makin ketat. Hal ini tak terlepas dari keluarnya putusan MK No 21/PUU-XII/2014 terkait objek praperadilan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP, Selasa (28/4/2015) lalu.Â