Subjek atau pihak yang dirugikan dalam kasus pencemaran nama baik adalah diri pribadi dan atau badan. Artinya, kerugian itu bersifat privat atau keperdataan.Â
Karena itu, pencemaran nama baik pada awalnya merupakan konsep hukum privat (keperdataan), bukan pidana. Lalu belakangan pencemaran nama baik dikriminalisasi, menjadi tindak pidana dalam pelbagai perundang-undangan pidana.
Yang proporsional memang pencemaran nama baik diatur dalam hukum keperdataan. Logikanya, jika yang dirugikan adalah nama baik atau nilai ekonomis orang per orang dan atau badan (bukan masyarakat luas), mengapa perlu institusi negara terlibat menegakkannya?Â
Kasus Acho dan Prita Mulyasari dapat dijadikan contoh. Pada kasus Acho yang merasa dirugikan adalah sebuah badan hukum perdata atau korporasi yaitu Apartemen Green Pramuka. Pada kasus Prita, yang merasa dirugikan adalah Rumah Sakit Omni Internasional.
Berhubung pencemaran nama baik dua institusi perdata di atas merupakan tindak pidana, maka penegakan hukumnya menggunakan tangan aparat negara, mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan. Di sini tidak logisnya.
Yang berperkara mempertahankan nilai keperdataan (nama baik dan nilai ekonomis) adalah pengelola Apartemen Green Pramuka vs Acho, tetapi yang riel berhadapan justru negara (dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan) vs Acho. Singkatnya, yang berperkara: Negara Indonesia vs Acho.Â
Padahal, kenyataannya, yang berperkara bukan negara Indonesia, melainkan pengelola apartemen Green Pramuka vs Acho. Harusnya, dua pihak ini yang berhadap-hadapan dalam suatu forum perkara perdata di pengadilan.
Coba, enak bener pengelola apartemen Green Pramuka dibela, diwakili dan diurus kepentingan hukumnya oleh negara melalui kepolisian dan kejaksaan, sedangkan yang diperjuangkan intinya adalah duit Green Pramuka, bukan duit negara.
Atas dasar itulah maka delik pencemaran nama baik dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan KUHP sebaiknya didekriminalisasi saja. Dekriminalisasi adalah suatu perbuatan yang semula merupakan tindak pidana diubah menjadi bukan tindak pidana.
Tugas negara sudah sangat banyak dan sangat sibuk sekali, tak usahlah ditambah-tambah urusi keuangan pengelola apartemen Green Pramuka. Biar negara urus penggunaan dan penyelamatan keuangan negara saja di bidang infrastruktur, gaji ASN/PNS dll.
Biarkan apartemen Green Pramuka mengurus dirinya sendiri. Sebagaimana halnya Acho mengurus urusannya sendiri. Jika kedua belah pihak merasa dirugikan nama baiknya, berperkaralah di pengadilan perdata. Untuk itu tidak gratis. Semua bayar.
Beda dengan saat ini. Kepentingan hukum pengelola apartemen Green Pramuka diwakili oleh kepolisian dan kejaksaan dan itu semua gratis, karena kasusnya pidana, maka negara yang membiayai. Gila gak tuh.
Semua butuh duit. Negara perlu membiayai ongkos transportasi polisi dan jaksa, beli tinta printer, beli kertas, foto kopi, penjilidan berkas, dokumentasi, dst. Tak ada yang gratis.
Enak kan Green Pramuka. Mereka sedang berjuang mempertahankan nama baiknya supaya penjualan kembali baik, ujungnya-ujungnya demi duit mereka sendiri, tetapi yang repot dan keluar uang justru negara. Syukurlah kalau benar sudah damai.(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H