WISATAWAN domestik dan mancanegara yang berkunjung ke Bukittinggi dan menyukai petualangan alam tidak ada salahnya mencoba olahraga naik gunung menikmati keindahan gunung Marapi, Tanah Datar, Sumatera Barat. Jaraknya dekat. Hanya setengah jam dari Bukittinggi pengunjung sudah sampai di Pos Pendaftaran.
Sebetulnya, gunung yang paling sering kudaki adalah gunung Marapi ini, berhubung jaraknya cukup dekat dari Padang, kota tempat saya tinggal. Namun, entah mengapa, tidak pernah  kujadikan tema tulisan sebagaimana gunung-gunung lain yang pernah kudaki. Kali ini saatnya menuliskan pengalaman ziarah ke Taman Edelweiss gunung Marapi, 17-18 Februari 2017 lalu.
Sampai di puncak Merpati (dokpri)
Menikmati suasana pagi di puncak Merpati (dokpri)
Oh ya, gunung Marapi cukup sakral dan menempati posisi khusus dalam budaya orang Minang. Dalam buku klasik
Tambo Minangkabau, asal usul orang Minang diyakini berasal dari gunung ini, lalu menyebar ke seantero perantauan di Sumatera Barat hingga daerah tetangga.
Saya dapat cerita dari warga sekitar, gunung Marapi sudah sebulan lebih dilanda kemarau. Sepanjang perjalanan tanah nampak kering, jalan berdebu, dan banyak sumber air mengecil bahkan kering. Sumber air di kiri-kanan Cadas sudah kering. Di area puncak praktis air hanya ada di seberang Taman Edelweiss, sekitar 1,5 jam dari Cadas. Karena itu, saya ambil perbekalan air dari mata air "koncek", tak jauh dari pintu rimba, untuk dibawa ke Cadas, yang biasa jadi tempat kemping terakhir para pendaki.
Pemandangan pagi dari puncak Merpati (dokpri)
Menikmati suasana di salah satu sudut puncak (dokpri)
Setelah mendaftar dan ngobrol-ngobrol sebentar, pendakian pun dimulai, pada Jumat siang (17/2/2017). Dengan ritme berjalan normal, butuh waktu sekitar 5 jam jalan kaki dari Pos Pendaftaran hingga sampai di Cadas, namun sering kali saya butuh waktu 7 jam. Lebih enak berjalan santai, lebih dapat menikmati suasana. Alasan lainnya, fisik saya tidak sekuat dulu lagi. Haha.
Baru mulai berjalan sudah terasa hawa udara yang kering. Karena musim kemarau kabut mudah sekali datang. Angin cuma berhembus pelan tapi udara sudah terasa cukup sejuk mendekati dingin. Dua puluh menit saya sampai di Pos 1 BKSDA. Tanpa istirahat langsung menuju mata air "koncek", sekitar lima menit dari pos BKSDA. Istirahat di sini sambil mengisi perbekalan air dalam jerijen 5 liter.
Pemandangan pertanian warga sepanjang jalan menuju Pos 1 (dokpri)
Kaget juga lihat perkembangan mata air "koncek". Bertahun-tahun saya mendaki di sini baru kali ini lihat mata air "koncek" nyaris kering. Dan, yang paling bikin miris, mata air ini sudah tercemar sampah nasi busuk, mie busuk dan plastik. Padahal tulisan himbauan dilarang buang sampah ditempel persis di muka mata air ini. Sempat saya bersihkan sebelum lanjut perjalanan, namun ketika turun keesokan harinya sudah kembali kotor.
Himbauan dilarang buang sampah persis di depan mata air
Cukup lama saya istirahat di mata air "koncek", hampir setengah jam. Setelah foto-foto untuk dokumentasi, perjalanan dilanjutkan menuju Pos 2 Parak Batuang. Lima menit berjalan dari mata air "koncek" akan melewati jembatan terbuat dari bambu bulat yang disusun sedemikian rupa. Di bawah jembatan ini ada air, tapi nyaris kering. Kalau mau ambil air di dekat jembatan ini pastikan agak ke hulu, karena di dekat sekitar jembatan sudah tercemar tinja manusia.
Jembatan bambu setelah mata air
Tak sampai setengah jam dari mata air "koncek", saya sudah sampai di
Pos 2 Parak Batuang. Tapi karena paru-paru masih penyesuaian, pernafasan masih agak berat, ditambah lagi cuaca yang cukup panas, jadilah mandi keringat plus ngos-ngosan. Di Pos 2 Parak Batuang, saya putuskan istirahat leyeh-leyeh cukup lama, lebih setengah jam. Kabut tipis menyelimuti hutan bambu sekitar Pos 2.
Beberapa tahun lalu Pos 2 ini favorit saya untuk tempat ngekem semalam, sebelum lanjut jalan hingga ke puncak keesokan harinya. Namun, karena sumber air di dekat Pos 2 mulai tercemar, saya malas lagi ngekem di sini.
Suasana di pos 2 (dokpri)
Istirahat di pos 2 (dokpri)
Olahraga trekking sebenarnya dimulai dari Pos 2 ini. Trek mulai menanjak. Dari sini butuh waktu sekitar 4-5 jam hingga sampai ke Cadas. Tapi perjalanan cukup menyenangkan karena sepanjang jalan melewati rimba, jadi cukup sejuk dan nyaman.
Akhirnya saya sampai di Cadas mendekati matahari tenggelam. Karena cuaca cerah suasananya cukup indah. Buru-buru saya mendirikan tenda. Sebelum matahari benar-benar tenggelam di balik puncak gunung Singgalang, yang kelihatannya sangat dekat dari Cadas, saya mengabadikan senja kali ini dengan kamera hp.
Matahari mulai tenggelam di balik puncak gunung Singgalang yang diselimuti awan (dokpri)
Sebelum matahari benar-benar tenggelam, awan menyuguhkan tarian terakhir pada puncak Singgalang (dokpri)
Tak lama malam menyelimuti seluruh kawasan Cadas. Cuacanya enak sekali. Dari cadas nampak pemandangan malam yang memukau: kerlip lapu dari Padang Panjang hingga Bukittinggi, seperti pemandangan kapal Titanic saat malam. Angin berhembus pelan, jadi malam terasa tidak terlalu dingin, berbeda dengan malam sebelumnya yang cukup dingin seperti dituturkan pendaki lain, maklumlah musim kemarau dan angin lebih kuat.
Penghujung senja di balik cadas (dokpri)
Penutup senja hari ini (dokpri)
Pukul 5.30 keesokan harinya mulai muncak. Matahari terbit (sunrise) tepat pukul 6.48. Jadi cukup jalan santai saja ke puncak untuk menikmati sunrise. Pukul 6.05 sudah sapai di puncak tugu Abel Tasman. Setelah istirahat secukupnya lanjut perjalanan ke puncak Merpati. Dari puncak Merpati turun ke lembah, tempat Taman Edelweiss berada. Pukul 6.48 saat matahari terbit posisi masih berada di kaki puncak Merpati.
Sunrise di balik puncak Merpati (dokpri)
Sunrise menyapa puncak (dokpri)
Sunrise di puncak (dokpri)
Setelah istirahat dan menikmati suasana terbitnya matahari di puncak Merpati, perjalanan dilanjutkan ke menuju
Taman Edelweiss, turun ke lembah sekitar setengah jam dari puncak Merpati. Kawasan Taman Edelweiss sebetulnya tidak disarankan untuk dikunjungi umum. Treknya cukup berat. Kadang arah angin membawa uap belerang mengarah ke sini membuat pernafasan tercekat. Untuk naik kembali juga cukup melelahkan.
Trek menuju Taman Edelweiss melewati punggungan yang cukup curam dari kanan puncak Merpati (dokpri)
Jalan lain menuju Taman Edelweiss dari puncak Merpati, menurun ke arah kiri, cuma lebih jauh (dokpri)
Di perjalanan menuju Taman Edelweiss (dokpri)
Sudah 19 tahun saya tidak ke Taman Edelweiss gunung Marapi; sebelumnya terakhir Oktober 1998 lalu. Biasanya mendaki cuma sampai Cadas atau puncak Merpati saja. Dalam ingatan saya yang telah samar-samar, kawasan Taman Edelweiss tahun 1998 sangat luas, subur dan lebat. Tapi kali ini terlihat berbeda. Sekarang pohon edelweissnya sudah agak jarang, pendek-pendek dan kurang subur. Yang tersisa nampak rapat dan subur agak ke tepi, dekat kawasan hutan.
Sampai di Taman Edelweiss (dokpri)
Salah satu sudut Taman Edelweiss (dokpri)
Sudut lain Taman Edelweiss (dokpri)
Sudut Barat Taman Edelweiss (dokpri)
Istirahat nyantai di Taman Edelwiess cukup lama. Sarapan pagi. Duduk-duduk. Foto-foto. Lalu BAB di sini, di bawah sebatang edelweiss. Gali lobang cukup dalam lalu mulai memasukkan pupuk kandang demi kesuburan edelweiss. Hehe.
Di Taman Edelweiss membelakangi puncak Merpati (dokpri)
Duduk-duduk santai menikmati suasana Taman Edelweiss (dokpri)
Membelakangi puncak Merpati (dokpri)
Hmm, perasaan dulu edelweissnya banyak, tinggi dan subur... (dokpri)
Kok di sini beda ya dengan dulu... (dokpri)
Membelakangi puncak Merpati. Abaikan vandalismenya (dokpri)
Eksplor Taman Edelwies (dokpri)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya