GUNUNG DEMPO merupakan gunung berapi tipe kerucut (stratovulcano) yang terletak di Propinsi Sumatera Selatan dan perbatasan propinsi Bengkulu, pulau Sumatera.Â
Kota terdekat untuk mencapai gunung ini adalah Pagaralam, Propinsi Sumatera Selatan.
Ada dua puncak gunung Dempo: puncak satu dengan ketinggian 3.159 mdpl dan puncak dua (puncak tertinggi) 3.259 mdpl. Diantara kedua puncak ini dipisahkan oleh tanah lapang luas yang biasa disebut "pelataran".
Sisi gunung Dempo dilihat dari kebun teh PTPN 7 (docpri)
Sudut lain gunung Dempo (docpri)
Ada kepercayaan berdasarkan sejarah lisan, prasasti, literatur Tiongkok dan Belanda, bahwa suku Melayu Besemah berasal dari sekitaran kaki gunung Dempo. Karena saya suku Melayu Besemah, bolehlah disebut pendakian ini sebagai peziaraan ke tanah leluhur.
Sebelum melanjutkan reli di sirkuit Seven Summits Indonesia, saya memulai lagi pemanasan dengan mendaki gunung Dempo yang treknya dikenal lumayan berat, bahkan ada yang menyebut lebih berat dibandingkan trek gunung Kerinci.
Puncak utama gunung Dempo 3.259 mdpl dilihat dari Pelataran, dibaliknya ada kawah! (docpri)
Kawah gunung Dempo dilihat dari puncak utama, kali ini berwarna krem susu, kali lain bisa saja berwarna hijau toscha dll (docpri)
Suasana di puncak Dempo, Minggu (31/7/2016), cuaca cerah (docpri)
Berdua bersama rekan Muvu Ardie, saya memulai perjalanan dari kota Padang dengan naik bus SAN, Kamis (28/7/2016) pukul 13 WIB. Turun di persimpangan Kepahiang-Pagaralam, pada Jumat (29/7/2016) pukul 3 WIB. Dari simpang ini perjalanan dilanjutkan naik bus Sarana Sakti pukul 9-10 WIB, (Tapi kami naik mobil sayur karena berangkat lebih pagi dari Kepahiang estafet ke Pagaralam).
Sampai di kota Pagaralam sekitar pukul 10.30 WIB, Jumat (29/7/2016). Dari Pendopo diantar oleh "taksi" (sejenis mobil pickup tapi diberi atap dan dipasang tempat duduk berhadapan) sampai Pagaralam terus hingga ke Kampung IV, titik awal pendakian gunung Dempo.
Pemandangan kebuh teh PTPN 7 yang permai dilihat dari dalam
Saat suasana pagi yang cerah (docpri)
Sampai di Kampung IV pukul 11.30 WIB. Agak lambat karena diseling banyak bertanya, maklum jalannya banyak persimpangan dan sopir taksinya belum hafal. Udara dingin menyegarkan langsung menyergap.
Berhubung di jalan (malamnya) kurang tidur dan menyadari bahwa trek gunung Dempo terkenal berat dan keras, maka kami memutuskan untuk istirahat saja di Balai penginapan khusus pendaki di Kampung IV. Dengan membayar Rp2.000/orang/malam kami bebas menginap, masak dan mandi di Balai penginapan ini.
Pemandangan pagi kebun teh PTPN 7 di Kampung IV (docpri)
Memulai pendakian di pagi yang cerah. Nampak rekan Riski (docpri)
Pemandangan pagi mendekati titik awal pendakian (docpri)
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, setelah membayar biaya pendaftaran pendakian Rp2.000/orang sepuasnya, sekitar pukul 6.30 kami memulai perjalanan mendaki gunung Dempo. Teman seperjalanan bertambah satu orang lagi: Bung
Riski, seorang seniman teater yang nyentrik.
Sekitar 30 menit berjalan kaki dari Balai maka kami pun sampai di titik awal pendakian. Cuaca pagi sangat cerah. Pemandangan lepas ke mana-mana. Hijau dan menyejukkan mata. Di kejauhan nampak gunung Dempo berdiri gagah.
Pemandangan dilihat dari trek menuju titik awal pendakian: kebun teh berundak-undak dan pinggiran Pagaralam di kejauhan (docpri)
Enggak bosan-bosan melihat kedamaian kebun teh (docpri)
Masih tentang kebun teh (docpri)
Puas-puasin lihat kebun teh mumpung cuaca cerah (docpri)
Pemandangan kebun teh di trek dari titik awal pendakian menuju Pintu Rimba (docpri)
Dari mulai start awal pendakian trek sudah mulai menanjak tapi tidak ekstrim. 30 menit berjalan dari titik pendakian sampailah di Pintu Rimba. Setelahnya trek berangsur makin menanjak. Makin menanjak lagi setelah Shelter 1, sekitar dua jam perjalanan dari Pintu Rimba.
Nampak Shelter di pertengahan jalan menuju titik awal pendakian. Di sini bisa ngekem untuk aklimatisasi. Ada sungai di samping kanan shelter (docpri)
Shelter Kampung IV, di pertengahan jalan dari Kampung IV menuju titik awal pendakian (docpri)
Titik awal pendakian (docpri)
Proses pencerahan Muvu Ardie di Shelter 1 (docpri)
Dari Shelter 1 ke Shelter 2 trek diwarnai medan berakar, sangat lincin terutama setelah hujan seperti yang kami alami, dan tanah yang lincin dan sebagian berlumpur. Butuh waktu sekitar tiga jam dari Shelter 1 hingga sampai ke Shelter 2.
Pemandangan hutan pohon panjang umur (cantigi) di Shelter 2 (docpri)
Suasana di Shelter 2, Sabtu (30/7/2016) tengah hari (docpri)
Setelah Shelter 2, trek menanjak gila-gilaan. Nyaris tanpa bonus. Terus menanjak hingga Puncak 1. Licin. Kadang harus bergelantungan dan melompat. Beratnya, ditambah memikul tas keril yang jika di gunung terasa tiga kali lipat lebih berat dibanding di dataran rendah. Butuh sekitar tiga jam dari Shelter 2 hingga sampai di Puncak 1.
Kayu berlumut. Lagi hipotermia bakal kelihatan kayak hantu nih (docpri)
Pemandangan kayu lumut sepanjang jalan (docpri)
Pemandangan di trek dari Shelter 2 menuju Puncak 1 (docpri)
Kayu lumut di trek menuju puncak utama/kawah (docpri)
Pukul 13 WIB perjalanan dilanjutkan dari Shelter 2 menuju Puncak 1. Trek dari Shelter 2 menuju Puncak 1 benar-benar ekstrim, karena waktu kami lewat malamnya hujan, jadi jalan licin dan berlumpur. Trek tanjakan yang kadang tegak diwarnai akar-akar kayu yang melintang tak beraturan membuat perjalanan makin sulit.
Shelter 2 dikenal oleh sebagian pendaki Dempo sebagai daerah yang mistis. Tidak jarang pendaki mendengar suara musik di area sekitar Shelter 2. Ada juga pendaki yang melihat hal-hal gaib. Tapi saya tidak mengalaminya, mungkin karena tidak percaya, hehe.
Pelataran dilihat dari pertengahan trek menuju puncak utama/kawah, sangat luas untuk mendirikan tenda (docpri)
Pelataran yang luas dan permai (docpri)
Sekitar pukul 16.15 WIB barulah kami sampai di Puncak 1. Kabut mulai pekat. Setelah istirahat sekitar lima menit, perjalanan dilanjutkan dari Puncak 1 turun menuju Pelataran, hanya butuh waktu sekitar 10 menit saja.
Sampai di Pelataran pukul 16.30 WIB, Sabtu (30/7/2016). Langsung mencari tempat mendirikan tenda. Pelataran yang sangat luas membuat banyak sekali tempat strategis untuk mendirikan tenda. Kami pilih tempat yang tak terlalu jauh dengan sumber air.
Puncak jurang kawah Dempo (docpri)
Sampai di Pelataran kondisi badan sudah sangat kotor. Berlumpur di mana-mana. Badan pun sudah terasa sangat letih sekalipun kami berjalan terhitung santai. Karena itu, setelah mendirikan tenda dan makan cemilan seperlunya, kami langsung tepar di tenda masing-masing.
Keesokan harinya, Minggu (31/7/2016) sekitar pukul 7.30 WIB, saya dan rekan Ardie melakukan summit ke puncak utama Dempo. Kata orang-orang hanya butuh waktu 20-30 menit untuk sampai ke puncak. Tapi kami butuh waktu satu jam untuk sampai ke puncak. Santai dan ngos-ngosan. Hehehe.
Perjalanan ziarah ke puncak utama Dempo (docpri)
Sesampai di puncak suasana nampak meriah. Sudah cukup banyak pendaki yang lebih dahulu tiba di puncak. Kebetulan saya ketemu kembali dengan rekan Mardiansyah (Pak Dian) asal Pagaralam, seorang guru, yang sebelumnya pernah ketemu di gunung Kerinci.Â
Pak Dian menyarankan saya untuk sekalian ziarah ke puncak tertinggi Dempo, berjalan sekitar 200 meter dari titik pertama awal mencapai puncak, ke arah kanan. Jadilah kami beriringan ke puncak untuk berziarah ke makam Pu-Yang. Cuaca benar-benar mantap.
Di kejauhan dalam hutan larangan nampak batu putih. Semula terlihat oleh saya sebagai tenda (docpri)
Batu disusun menyerupai kuburan (docpri)
Sisa sesajen di tempat yang disebut kuburan (docpri)
Konon di puncak tertinggi gunung Dempo tertanam beberapa jasad manusia, ada yang menyebut pembuka jalur pendakian pertama yang meninggal sekitar tahun 1963-an, ada juga jenazah Pu-Yang orang Besemah dan entah siapa lagi. Terlihat beberapa batu yang disusun membentuk kuburan.
Di kanan ke arah bawah, ke arah hutan larangan, nampak pemandangan luas yang biru. Di tengah-tengah hutan tsb nampak sebuah benda berwarna putih. Pertama kali saya melihatnya seperti tenda. Belakangan ada cerita bahwa benda itu berlainan bagi orang yang pertama melihatnya: ada yang berbentuk batu putih, gajah, dan saya melihatnya sebagai tenda. Namun setelah agak dekat makin jelas benda itu adalah sebuah batu besar berwarna putih.
Kawah gunung Dempo (docpri)
Kawah gunung Dempo, Minggu (31/7/2016) (docpri)
Tidak kurang dua jam kami menikmati suasana puncak Dempo yang mengagumkan. Kawah yang menganga besar. Pemandangan sekitar gunung Dempo yang luar biasa indah: Bukit Barisan (dibaliknya ada Bengkulu), kota Pagaralam, Tanjung Sakti, Jarai, Curup dll.
Untuk turun kembali ke Pelataran tidaklah sulit. Banyak sekali jalur naik-turun puncak-pelataran yang berpusat di tujuan yang sama: puncak dan pelataran. Namun karena banyaknya jalur sangat sulit untuk turun kembali persis di jalur waktu naik.
Contoh trek berakar (docpri)
Memanjat tanjakan almari (docpri)
Disebut-sebut bahwa tidak ada seorang pun pendaki gunung Dempo, yang sudah mendaki berkali-kali sekalipun, yang mampu naik dari Pelataran ke puncak dan kembali turun ke Pelataran melalui jalan yang sama. Selalu lewat jalan yang berlainan, walaupun berakhir di tujuan yang sama. Dan saya pun mengalami hal serupa. Benar-benar menarik sekali.(*)
Gambar jalur pendakian gunung Dempo via Kampung IV (docpri)
Peraturan dan formulir yang harus diisi. Daftar Rp2.000/per orang (docpri)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya