Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pendakian Gunung Talamau: Mendaki Gunung Emas di Negeri Ophir

19 April 2016   20:57 Diperbarui: 2 Januari 2021   14:53 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puncak gunung Talamau dilihat dari tepian Ranu Puti Sangka Bulan (Dokumentasi Pribadi)

DIKISAHKAN, Raja Sulaiman (975-935 SM), Raja dari segala mahluk, mendapat upeti berupa 420 talenta emas dari Hiram, Raja Tirus, sebuah negeri di Selatan Libanon saat ini. Ke-420 talenta emas tersebut berasal dari Negeri Ofir (Ophir) di Pulau Swarnadwipa (Pulau Emas), yang kelak dikenal dengan nama Pulau Sumatera.

Di Negeri Ophir itulah terdapat sebuah gunung yang dinamai Gunung Ophir (Gunung Emas), kelak dikenal pula dengan nama Gunung Talamau dengan ketinggian 2.920 mdpl (di altimeter saya 2.955 mdpl), sebuah gunung tertinggi di Sumatera Barat, atau dahulu zaman penjajahan Belanda hingga Jepang, bahkan sampai tahun 1947, disebut Onder Afdeling Ophir yang dikepalai Controleur (semacam bupati), yang terdiri dari Distrik Talu dan Air Bangis.

Di puncak 2.920 mdpl

Nah, gunung itulah yang saya dan teman-teman daki pada hari itu, tepatnya hari ke-16 sampai hari ke-18 di bulan April tahun 2016. Sebuah pendakian yang sangat melelahkan, tetapi terbayar lunas dengan suguhan keindahan khas hutan tropis sepanjang perjalanan sampai panorama puncak yang aduhai.

Sesampai di puncak, hari Minggu siang, 17 April 2016, suasana begitu tenang dan damai. Hening. Ketika menahan nafas hanya terdengar detak jantung kami bertiga dan semilir angin gunung yang dingin. Memang hanya kami bertiga yang mendaki hari itu. Nun di bawah sana terhampar pemandangan telaga-telaga Talamau yang nampak kecil. Disebut-sebut ada 13 telaga, tapi yang nampak hari itu hanya 7 telaga saja, barangkali sisanya sudah tertutup semak-semak.

Ranu Puti Sangka Bulan (dokpri)
Ranu Puti Sangka Bulan (dokpri)
Telaga-telaga Talamau dilihat dari puncak (dokpri)
Telaga-telaga Talamau dilihat dari puncak (dokpri)
Sekitar tiga puluh menit di puncak kabut mulai datang. Sebuah pertemuan kabut yang dramatis. Pertemuan kabut dari gunung Talamau sisi Lubuksikaping dan sisi Talu, bertemu tepat di atas telaga-telaga itu! Kabut itu berputar-putar sebentar lalu lenyap seolah tak berbekas.

Tak lama kemudian kami turun ke Telaga Puti Sangka Bulan, saya lebih suka menyebutnya Ranu Puti Sangka Bulan. Diantara ke-13 telaga di gunung Talamau, telaga Puti Sangka Bulan-lah yang terbesar, bolehlah disebut danau (ranu). Di tepian sebelah Barat Ranu Puti Sangka Bulan ada area cukup kering untuk mendirikan beberapa tenda.

Saat duduk-duduk di tepian Ranu Sangka Bulan, saya membayangkan betapa nikmatnya bermalam di tepian danau ini pada bulan purnama penuh, melihat purnama terlukis di permukaan danau yang tenang. Sayangnya purnama masih seminggu lagi dan kami pun bermalam bukan di tepian danau ini melainkan di pos Peninjauan, sekitar 1 jam sebelum danau ini ke arah bawah.

Sebelum muncak tadi, yang muncaknya hanya butuh waktu sekitar 20 menit dari Ranu Puti Sangka Bulan, kami telah istirahat duduk-duduk di tepian Ranu Puti Sangka Bulan sambil menikmati keindahannya. Karenanya saat turun kami tidak berhenti lagi di tepian danau ini, melainkan langsung turun ke Pos Peninjauan, tempat tenda kami berada.

Pemandangan di trek antara pos Peninjauan menuju Telaga (dokpri)
Pemandangan di trek antara pos Peninjauan menuju Telaga (dokpri)
Di Pos Peninjauan 2.645 mdpl

Area Pos Peninjauan sendiri tidak terlalu luas. Paling banter mampu memuat lima tenda ukuran sedang. Namun pemandangan dari Pos Peninjauan sangatlah indah. Dari pos ini terbentang pemandangan pantai, Kota Simpang Empat, bukit yang berlapis-lapis, Talu, Air Bangis dll. Pada malam hari pemandangan di bawah terlihat seperti kerlap-kerlip lampu kapal Titanic! Konon zaman penjajahan Belanda dan Jepang di sini tempat pelarian pengungsi, posisinya pas untuk memantau pergerakan pasukan Belanda dan Jepang dari arah bawah. Barangkali karena alasan inilah maka disebut "Pos Peninjauan".

Tenda dijaga burung jalak Sumatera di pos Peninjauan (dokpri)
Tenda dijaga burung jalak Sumatera di pos Peninjauan (dokpri)
Pemandangan pagi dari dalam tenda di pos Peninjauan (dokpri)
Pemandangan pagi dari dalam tenda di pos Peninjauan (dokpri)
Di pos ini ada sumber air tapi agak kecoklatan, tepat di sebelah kiri, ke arah jalan menunju puncak, jaraknya dari tenda paling hanya sepelemparan tombak. Kalau mau air yang jernih cling segar bisa langsung diminum berjalanlah melalui trek arah puncak sekitar 100 m, di sini ada sungai kecil yang airnya sangat jernih.

Waktu pendakian kemaren, kami sampai di Pos Peninjauan pukul 20.30 WIB, Sabtu (16/4/2016). Istirahat sebentar, lalu langsung mendirikan tenda. Setelah memasak dan meminum minuman hangat kami langsung terkapar di tenda masing-masing. Terbangun pukul 6.30 Wib hari Minggu, 17 April 2016, saat semburat merah matahari pagi mulai tampak di kejauhan. Sangat indah. Pukul 10 Wib barulah kami muncak dengan irama langkah santai.

Sekembali ke Pos Peninjauan, dari muncak yang cukup melelahkan, juga lapar, kami terhibur oleh aksi si jinak burung Jalak hitam-biru yang ajaib. Burung ini sudah mengikuti kami dari Pos Bumi Sarasah, seolah menuntun pendaki hingga mendekati puncak. Di Pos Peninjauan burung ini juga berhenti mengikuti kami yang berhenti. Ia bermain ria di sekitar tenda. Dalam posisi yang sangat dekat, saya berhasil mengambil foto burung jalak ajaib ini.

Burung jalak biru-hitam seperti lumba-lumba menuntun pendaki hingga mendekati puncak (dokpri)
Burung jalak biru-hitam seperti lumba-lumba menuntun pendaki hingga mendekati puncak (dokpri)
Di Pos Bumi Sarasah 2.023 mdpl

Untuk mencapai Pos Peninjauan tadi tentu saja harus berjalan dari arah bawah, dari Pos Bumi Sarasah. Perjalanan dari pos Bumi Sarasah menuju pos Peninjauan sangat melelahkan, menanjak, tidak kalah berat dibandingkan trek panjang dari pos Rindu Alam menuju pos Bumi Sarasah.

Area pos Bumi Sarasah cukup luas untuk mendirikan sekitar sepuluh tenda. Sebetulnya tidak usah khawatir juga sih. Pendaki gunung Talamau sangat jarang. Karena itu di tiap pos tak bakal kekurangan tempat untuk mendirikan tenda, kecuali momen tahun baru atau 17 Agustusan. Hanya saja agak riskan mendirikan tenda di pos ini karena berada di bawah pohon-pohon tinggi, sangat mungkin ada kayu tumbang atau kejatuhan dahan yang patah.

Pos Bumi Sarasah (dokpri)
Pos Bumi Sarasah (dokpri)
Di sebelah kiri pos, agak menurun, ada sungai yang airnya sangat jernih. Pokoknya, sepanjang perjalanan pendakian Talamau para pendaki tak bakal kekurangan air. Air melimpah di mana-mana, tersedia dari sungai-sungai dan mata air sepanjang jalan. Termasuk di pos Bumi Sarasah.

Untuk situasi darurat, misalnya saat hujan, atau saat malas buka tenda atau flysheet, di pos Bumi Sarasah ada semacam bivak dengan atap seng yang bolong-bolong. Lumayanlah, bivak tersebut bisa untuk tempat berteduh darurat dari hujan atau panas. Di samping kiri bivak kebetulan sedang mekar merona Anggrek Talamau (?), langsung saya foto buat oleh-oleh.

Bunga di pos Bumi Sarasah (dokpri)
Bunga di pos Bumi Sarasah (dokpri)
Bunga di pos Bumi Sarasah (dokpri)
Bunga di pos Bumi Sarasah (dokpri)
Kami tiba di pos ini sekitar pukul 14 WIB, hari Sabtu (16/4/2016). Butuh 3-4 jam dari pos Rindu Alam hingga tiba di pos Bumi Sarasah. Bagi pemilik stamina prima dan pejalan cepat paling hanya butuh waktu 2,5 jam saja. Kami sendiri memulai perjalanan dari pos Rindu Alam sekitar pukul 10 WIB. Sebuah perjalanan yang sangat santai dan terengah-engah. Karena itu kami istirahat cukup lama di pos ini. Baru pukul 17 WIB kembali melanjutkan perjalanan menuju pos Peninjauan.

Selain melelahkan, perjalanan dari pos Rindu Alam menuju pos Bumi Sarasah juga diwarnai jibaku dengan pacat. Banyak sekali pacat. Maklum trek berada di hutan tropis yang lebat dan lembab, dan gunungnya pun tidak berapi, sehingga sangat cocok untuk habitat pacat. Apalagi jika sering istirahat bakal banyak pacat yang menjalar ke kaki. Sering-sering saja periksa kaki dan badan siapa tahu ada pacat. Saya sendiri pakai gaiter dan ternyata sangat ampuh menghalangi pacat menyusup lewat ujung celana.

Untunglah mulai pos Bumi Sarasah pacat sudah jarang ditemui. Kalaupun ada pacat paling-paling bawaan dari bawah. Trek dari Bumi Sarasah menuju pos Peninjauan praktis aman dari serangan pacat. Duduk di semak-semak pun aman dari serangan pacat.

Di Pos Rindu Alam

Kami bertiga memulai perjalanan dari tepi sungai yang ada sulingan nilamnya (karena itu dikenal pula dengan pos "Sulingan") tepat pukul 7.30 WIB, Sabtu (16/4/2016), setelah sebelumnya sarapan pagi di sini. Setelah pos ini trek mulai memasuki hutan belukar dan kemudian hutan rimba. Karena itu bagi yang kemalaman di sini sangat disarankan untuk bermalam.

Trek dari pos Sulingan menuju pos Rindu Alam mulai diwarnai tanjakan dengan sesekali bonus trek mendatar. Pertama menyeberangi sungai kecil, menanjak mengikuti jalan tanah bekas boldozer namun telah semak belukar, lalu masuk ke perkebunan kopi yang tak dirawat, setelahnya sampai di dekat ladang yang telah bersemak dan ada pohon besarnya. Waspada nyasar di titik ini.

Pos Sulingan di tepi sungai, setelah 3-4 jam perjalanan (dokpri)
Pos Sulingan di tepi sungai, setelah 3-4 jam perjalanan (dokpri)
Akan ditemui jalan setapak cukup jelas ke arah kanan. Jangan ikuti jalan ini, karena akan nyasar menuju ladang petani di kaki Talamau. Ikuti jalan lurus menuju lembah, yang pintu masuk ke jalan ini kebetulan, hari itu, sudah tertutup semak belukar. Oleh sebab itu kami sempat terpancing ambil jalur ke kanan dan nyasar. Untung segera sadar dan balik lagi ke titik awal, simpang tadi, lalu ambil jalur lurus menuju punggungan hingga akhirnya turun ke sungai kecil.

Sesampai di sungai kecil, ikuti trek jalan setapak kurang begitu jelas tapi tetap terlihat, persis naik menanjak ke atas punggungan. Tak lama kemudian akan ketemu ladang kopi kembali. Lurus saja. Lalu kembali menanjak. Selesai tanjakan akan ketemu punggungan. Di punggungan inilah pertemuan jalur Lubuk Landua yang kami ikuti dengan jalur Piaga (Desa Pinaga).

Sebagai catatan kaki, untuk saat ini baru ada dua jalur pendakian Talamau, yakni: jalur lama di Desa Pinaga dan jalur baru Lubuk Landua. Jalur Lubuk Landua lebih moderat dan pendek dibandingkan jalur Pinaga yang lebih ekstrim dan jauh, bedanya sekitar dua jam perjalanan. Ke depan, KPA Pelangi yang dimotori Buya Masnil akan membuat trek baru yang lebih singkat menuju puncak gunung Talamau, diperkirakan sekitar tujuh jam saja.

Di pertemuan kedua jalur ini ambil arah ke kanan, ke arah puncak Talamau. Arah ke kiri berarti menuju Desa Pinaga, titik start pendakian jalur Pinaga. Trek ini agak landai pada awalnya dan berangsur mulai sedikit menanjak hingga sampai pos Rindu Alam. Butuh waktu antara 2-2,5 jam dari pos Sulingan hingga sampai ke pos Rindu Alam.

Pos Rindu Alam di bawah pohon besar, di samping kanan ada sungai (dokpri)
Pos Rindu Alam di bawah pohon besar, di samping kanan ada sungai (dokpri)
Kami tiba di pos Rindu Alam tepat pukul 10 WIB. Pos ini ditandai oleh plang tanda nama pos yang dipakukan di batang pohon besar di sebelah kiri. Area posnya sendiri tidak terlalu luas, paling muat sekitar empat tenda ukuran sedang. Di sebelah kanan pos, menurun ke bawah lembah, ada sungai jernih untuk tempat menambah persediaan air di perjalanan selanjutnya atau untuk memasak di pos ini.

Ada baiknya di pos ini beristirahat dulu menyiapkan tenaga untuk trek panjang menuju pos Bumi Sarasah. Istirahat sekalian membersihkan pacat di kaki. Pasalnya, mulai dari pintu rimba mulai diwarnai banyak pacat.

Titik start pendakian

Titik awal pendakian dimulai dengan mendaftar di pos pendaftaran yang dikelola oleh KPA Pelangi (Jalur Lubuk Landua) dan KPA Walet (Jalur Desa Pinaga), dimana kedua pos pendaftaran ini sama-sama dibina atau berkerjasama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Pasaman Barat.

Saya dan rekan pendakian kali ini mendaftar di KPA Pelangi. Basecampnya tepat di samping Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Pasaman atau di samping Kantor DPRD Kabupaten Pasaman Barat. Di Basecamp KPA Pelangi ini bisa juga untuk repacking, melengkapi logistik, mandi dan istirahat sebelum memulai pendakian.

Sesampai di KPA Pelangi kami disambut oleh Ibu dan Buya Masnil yang ramah dan suka bercerita. Buya Masnil (52 tahun) sangat terkenal di Pasaman Barat karena seorang tokoh masyarakat di sana sekaligus tokoh pemekaran Kabupaten Pasaman Barat, yang memisahkan diri dari kabupaten Pasaman Timur. Buya Masnil dapat dikontak dinomor 081267907009.

Berdasarkan pengalaman, tim pendakian paling solid berjumlah tiga orang. Kali ini bersama Son Samurai (kanan) dan Ardie (tengah) (dokpri)
Berdasarkan pengalaman, tim pendakian paling solid berjumlah tiga orang. Kali ini bersama Son Samurai (kanan) dan Ardie (tengah) (dokpri)
Biaya pendaftaran Rp25.000 per orang. Setelah atau sebelum mendaftar akan ada arahan (lebih tepat obrolan) dari Buya Masnil dan Ibu terkait seluk-beluk pendakian Talamau, termasuk manajemen sampah sepanjang jalan hingga turun kembali, dimana sampah wajib dihitung dan disetor kembali saat turun (ketika melapor). Obrolan kami hingga mendekati magrib dan setelahnya disusul oleh jamuan makan malam yang sangat nikmat.

Upaya pihak pos pengelola pendakian gunung Talamau terkait sampah patut diapresiasi positif. Karena upaya ini maka jalur pendakian gunung Talamau hingga puncak sangat bersih. Di puncak gunung Talamau bahkan tidak ada ditemui satupun sampah. Namun masih ditemui corat-coret spidol di batu, namun tidak banyak.

Malam di KPA Pelangi sebelum pendakian, bersama Ibu dan Buya Masnil (disamping kiri saya), Dedi Rimba, Son Samurai dan Muvu Ardie (dokpri)
Malam di KPA Pelangi sebelum pendakian, bersama Ibu dan Buya Masnil (disamping kiri saya), Dedi Rimba, Son Samurai dan Muvu Ardie (dokpri)
Karena jarak dari KPA Pelangi menuju Lubuk Landua cukup jauh, lebih kurang 5 km, maka kami diantar ojek melalui jalan beraspal kemudian berganti jalan berbatu hingga ke jalan di tengah-tengah kebun sawit. Waktu itu tepat pukul 22.20 WIB. Kami meninggalkan basecamp KPA Pelangi sekitar pukul 22 WIB, agak lama di sini karena menunggu rekan pendaki lain, Mardison atau Son Samurai, yang akan bersama-sama memandu pendakian hingga ke puncak.

Turun dari ojek kami langsung start berjalan kaki menuju pos Sulingan. Namun baru berjalan kurang dari satu jam, rekan Muvu Ardie mengaku mengantuk. Kami putuskan istirahat di sebuah pondok petani di tengah-tengah kebun jagung, tak jauh dari tepi jalan. Di pondok ini kami tidur dari sekitar pukul 23.30 WIB hingga sekitar pukul 5 WIB. Kami serempak terjaga karena kursi papan tempat saya tidur tiba-tiba ambruk. Hehehe.

Iguana Talamau (dokpri)
Iguana Talamau (dokpri)
Pacet Talamau (dokpri)
Pacet Talamau (dokpri)

Konflik Jalur Pendakian

Seperti telah diceritakan di atas. Setelah pos Sulingan akan ketemua punggungan tempat pertemuan jalur Pinaga dan jalur Lubuk Landua. Nah, di titik pertemuan inilah, tepatnya di pintu jalur Lubuk Landua, ada dipasang barikade kayu-kayu pengahalang. Dari pagar atau barikade kayu tsb terlihat upaya untuk menghalangi pendaki lewat jalur Lubuk Landua. Diduga kuat barikade kayu tsb dipasang oleh pihak pos pendaftaran jalur Pinaga.

Dari temuan tsb, dan ditambah cerita Buya Masnil, memang ada semacam konflik antara KPA Pelangi dan KPA Walet yang mengelola pendaftaran jalur Pinaga. Sampai saat ini nampaknya konflik tsb masih menemui jalan buntu. Hal ini yang patut disesalkan, karena sampai mengganggu jalur pendakian.

Jalur Pendakian Talamau 2016 (dokpri)
Jalur Pendakian Talamau 2016 (dokpri)
Tidak ada sejarahnya dalam pendakian gunung jalur pendakian ditutup karena sengketa berebut lahan rezeki. Penutupan jalur pendakian hanya boleh dilakukan oleh alasan yang resmi teknis atau rutin, misalnya penutupan untuk memperbaiki ekosistem gunung atau karena ada badai, bencana alam, dll. Bukan karena konflik antar pos pendaftaran.

Konflik harusnya tidak boleh berimbas pada pendaki. Karena itu disarankan, jika benar koflik terus berlanjut, kiranya dapat diselesaikan secara adat atau kekeluargaan. Jika tidak bisa juga, bawa ke jalur hukum. Bukan dengan main hakim sendiri menganggu jalur pendakian, yang jelas-jelas tidak ada larangan pemerintah untuk melaluinya.(*)

SUTOMO PAGUCI 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun