Posisi sebelumnya di atas angin jadi berbalik dan kedudukan Wakapolri Jenderal Budi Gunawan (BG) terancam. Tentunya ini tidak main-main. Sangat serius. Kira-kira demikianlah efek politis-hukum dari rekomendasi Komisi Yudisial (KY) yang memutuskan pemberian sanksi skors selama enam bulan terhadap Hakim Sarpin.
Makanya Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Budi Waseso (Buwas) segera bertindak cepat. Dua Komisioner KY tak lama kemudian langsung ditersangkakan. Sebab, kalau tidak, efek lanjutannya bisa gawat. Indikasinya di situ.
Diputuskannya Hakim Sarpin telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim oleh KY adalah bukti otentik tak terbantahkan bahwa ada kesalahan di balik putusan pencabutan status tersangka terhadap BG. Kita tentu dapat membayangkan apa potensi dampak hukum-politis bagi status BG sebagai pribadi sekaligus Wakapolri. Bisa-bisa menyusul mantan Walikota Makassar.
Dari konstruksi ini terlihat bahwa yang bertarung sebenarnya sangat mungkin bukan antara Komisioner KY Suparman Marzuki Cs melawan Hakim Sarpin, melainkan pertarungan antara BG melawan arus besar gerakan pemberantasan korupsi termasuk KPK di dalamnya. Buwas hanya pion saja, tapi perannya sangat vital. Masuk akal bila ada yang menilai lembaga Polri telah dibajak untuk kepentingan pribadi.
Andai saja pion tsb dicopot, BG sangat mungkin kesulitan mencari pengganti yang 100% loyal padanya. Bisa saja Kapolri "bermain" cantik turun tangan dalam proses penggantian tsb. Kapolri akan mengisi Kabareskrim baru yang loyal padanya dan institusi Polri sebagai bagian penting penguatan institusi. BG tersisih pelan-pelan. Setidaknya BG kehilangan pion utama untuk memukul.
Itulah mengapa reaksi Buwas terhadap pernyataan Buya Syafii sekarang dan dulu berbeda. Pernyataan keras Buya Syafii agar Buwas dicopot bukan kali ini saja, tetapi reaksi Buwas yang over baru kali ini. Persis setelah Hakim Sarpin direkomendasi KY untuk diberi sanksi skorsing. Dulu, saat Buya Syafii mengusulkan Buwas dicopot, Buwas kalem saja.
Mungkin saja analisa saya di atas keliru. Tetapi untuk saat ini agak sulit mencari kemungkinan lain motif dari akselerasi mendadak penetapan tersangka terhadap Komisioner KY Suparman Marzuki Cs. Berbanding terbalik, misalnya, dengan lambannya proses penanganan kasus lebih kurang serupa terhadap Farhat Abbas atau "orang biasa" lainnya.
Karena itu, sulit dipercayai ucapan Buwas, bahwa penetapan tersangka terhadap Suparman Marzuki Cs sebagai murni penegakan hukum. Agak naif untuk percaya penetapan "orang besar", pimpinan lembaga tinggi negara, sekelas Komisioner KY, sebagai tersangka kasus ecek-ecek, sebagai murni penegakan hukum.
Kasusnya sederhana. Hanya pencemaran nama baik. Namun di balik kasus itu yang sangat serius. Pertarungan hidup mati seorang jenderal dan mungkin para politisi partai di belakangnya. (*)
SUTOMO PAGUCI
Â