Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik

Erri Subakti dan Teguh Suprayogi Bukan Islamis

29 September 2013   19:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:13 1495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kata "Islamis" dalam artikel saya berjudul "Mana Ada Islamis Dukung Jokowi" pada intinya bermakna, gerakan politik yang menjadikan islam sebagai ideologi dengan tujuan syariatisasi-total negara dalam pengertian formal dan pendirian negara islam atau khilafah. Pahamnya sering pula disebut "Islamisme".

Suatu kebetulan artikel saya di atas mendapat tanggapan luar biasa baik pro maupun kontra. Dua diantara pihak yang kontra dan menulis artikel adalah Sdr Erri Subakti dan Teguh Suprayogi. Erri Subakti menulis dengan tergesa-gesa artikel berjudul "Saya Islam Maka Saya Islamis Saya Mendukung Jokowi". Sementara Teguh Suprayogi menulis artikel yang tak kalah tergesa-gesa dan sumir berjudul "Saya Islamis, Dukung Jokowi, Masalah Buat Loe".

Intinya, Sdr Erri dan Teguh mengatakan dirinya Islamis. Namun sayang sekali tanpa argumen yang memadai. Yang nampak justru tulisan impulsif tergesa-gesa tanpa dasar argumen yang meyakinkan. Hanya ngaku-ngaku Islamis tanpa alasan yang logis, tentu dalam konteks politik sesuai jenis artikel yang saya luncurkan di atas.

Padahal, pengertian Islamis yang saya maksud tersebut tak lain tak bukan disarikan dari berbagai literatur politik. Sebut saja karya Jamaludin Al-Afghani (1838 – 1897), buku berjudul The Islamist karya Ed Husain, Oxford Encyclopedia of the Islamic World, dan Encyclopedia of Religion, dll.

Karena itu, kata "Islamis" sangat familiar bagi penikmat kajian politik. Apalagi sejak terjadinya konflik Mesir, pasca tergulingnya Presiden Mesir M Morsi, kata "Islamis" semakin sering sekali terdengar ditahbiskan pada Ikhwanul Muslimin. Selain IM, cap Isalmis juga biasa dilekatkan pada Alqaida, Jamaah Islamiyah, Hizbut Tahrir, dll.

Suatu kesengajaan bahwa arti "Islamis" dalam artikel saya di atas tidak diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sebab menurut penulis kata "Islamis" dalam KBBI tersebut kurang lengkap, kurang akurat, dan belum update dengan referensi politik yang ada. Makanya tidak penulis rujuk.

Menurut KBBI, Edisi Ketiga, Cet 2, 2002, halaman 444, kata "Islamis" merupakan adjektiva---kata yang menjelaskan nomina atau pronomina---yangberarti "bersifat islam". Dalam hubungan ini, pengertian demikian bisa saja digunakan dalam konteks tata bahasa. Sekali lagi, hanya dalam konteks tata bahasa.

Akan janggal apabila kata "Islamis" demikian digunakan untuk konteks politik pergerakan atas nama agama yang hendak mendirikan negara islam dan syariatisasi negara baik dengan cara-cara kekerasan maupun mendompleng demokrasi. Karena mereka jelas-jelas tidaklah bersifat Islam, setidaknya menurut mainstream.

Islam yang dipahami oleh gerakan islam kultural seperti NU dan Muhammadiyah, misalnya, sama sekali menolak konsep negara islam dan syariatisasi negara. Pasalnya, tak pernah ada perintah Allah dan Rasul yang dengan tegas (exsplicit) untuk mendirikan negara islam dalam pengertian formal.

Makanya di negara-negara manapun di dunia ini, termasuk di Arab Saudi dan Timteng lainnya, gerakan politik para Islamis akan dimusuhi, dikejar, pemimpinnya ditangkap dan dipenjara, dan organisasinya dinyatakan illegal.

Di paragraf atas penulis sebut Islamis 'mendompleng demokrasi'. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kaum Islamis pada dasarnya tidak menyetujui konsep demokrasi kreasi manusia tersebut, yang dicapnya "thogut" dan produk kafir. Namun kalkulasi rasional tidak memungkinkan untuk menghilangkan dan mengganti sistem demokrasi dengan sistem "islam" versi mereka yang sama sekali baru. Maka, digunakanlah demokrasi prosedural untuk mencapai tujuan syariatisasi negara atau negara islam/khilafah.

Kaum Islamis biasanya menggunakan cara-cara kekerasan atau nonkekerasan untuk mencapai tujuannya. Cara-cara kekerasan dilakukan seperti oleh Alqaidah, Jamaah Islamiyah, dll. Sedangkan cara-cara nonkekerasan seperti dilakukan Hizbut Tahrir. Namun tujuannya sama: syariatisasi negara dan negara islam/khilafah.

Dari uraian di atas menjadi jelas, bahwa gerakan politik para "Islamis" bersifat makar. Mereka hendak mengganti dasar negara Pancasila dan UUD 1945 menjadi Islam. Hizbut Tahrir, misalnya, telah memiliki rancangan UUD Daulah Islam dan ini disebarkan di mana-mana di Indonesia ini, termasuk di website resminya. Lebih jauh lagi gerakan ini hendak mengganti NKRI menjadi Khilafah. Bukankah itu jelas makar?

Nah, jika "Islamis" versi penulis ini yang dimaksud oleh Sdr Erri Subakti dan Teguh Suprayogi untuk menahbiskan dirinya, maka. jelas sekali mereka keliru besar. Karena yang mereka maksudkan lebih ke sifat "islami" pada diri mereka. Menurut istilah manasuka ala penulis, mereka berdua "Islamis KBBI". Tentu saja pemahaman demikian di luar kategori dan ruang lingkup tulisan saya, alias mereka berdua bukan "Islamis" yang penulis maksudkan.

Kecuali, jika Sdr Erri Subakti dan Teguh Suprayogi memang masuk dalam organisasi dan gerakan politik hendak mendirikan negara islam dan syariatisasi negara dalam pengertian formal. Maka, tentu saja dalam hal ini istilah "Islamis" cocok disematkan pada mereka berdua. Namun saya meragukannya.

Nah, mereka berdua menulis artikel tanggapan dengan penuh ketergesa-gesaan dan terkesan kuat prejudice pada diri penulis (baca: Sutomo Paguci). Sebaliknya, saya menulis artikel dengan penuh keseriusan, direncanakan, dan berefrensi. Sehingga tulisan saya yang pertama di atas dan tulisan yang sedang anda baca ini dapat saya pertanggungjawabkan dengan baik.

Disamping itu, saya cukup "jantan" tetap mampir di artikel mereka, membacanya dengan hati-hati, sampai tuntas, membubuhkan komentar, dan menulis artikel ini. Bandingkan dengan mereka berdua, yang kelihatan malu (atau gentar?) bubuhkan komentar di lapak saya. Karena kalau mereka bubuhkan komentar pasti akan saya "hajar" habis-habisan. He-he-he.

Jelas sekali artikel keduanya asal berbeda. Asal jeplak. Dan penuh pransangka jelek dan tuduhan tak berdasar. Bahkan, dugaan saya, jangan-jangan mereka tak membaca sampai utuh tulisan saya itu. Jangan-jangan hanya membaca judul saja, atau, paling banter membaca judul dan paragraf pertama doang. Namun sudah dengan "gagahnya" (atau gagah-gagahan?) membuat artikel sumir dengan penuh ketergesa-gesaan itu. He-he-he.

(SP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun