Kaum Islamis biasanya menggunakan cara-cara kekerasan atau nonkekerasan untuk mencapai tujuannya. Cara-cara kekerasan dilakukan seperti oleh Alqaidah, Jamaah Islamiyah, dll. Sedangkan cara-cara nonkekerasan seperti dilakukan Hizbut Tahrir. Namun tujuannya sama: syariatisasi negara dan negara islam/khilafah.
Dari uraian di atas menjadi jelas, bahwa gerakan politik para "Islamis" bersifat makar. Mereka hendak mengganti dasar negara Pancasila dan UUD 1945 menjadi Islam. Hizbut Tahrir, misalnya, telah memiliki rancangan UUD Daulah Islam dan ini disebarkan di mana-mana di Indonesia ini, termasuk di website resminya. Lebih jauh lagi gerakan ini hendak mengganti NKRI menjadi Khilafah. Bukankah itu jelas makar?
Nah, jika "Islamis" versi penulis ini yang dimaksud oleh Sdr Erri Subakti dan Teguh Suprayogi untuk menahbiskan dirinya, maka. jelas sekali mereka keliru besar. Karena yang mereka maksudkan lebih ke sifat "islami" pada diri mereka. Menurut istilah manasuka ala penulis, mereka berdua "Islamis KBBI". Tentu saja pemahaman demikian di luar kategori dan ruang lingkup tulisan saya, alias mereka berdua bukan "Islamis" yang penulis maksudkan.
Kecuali, jika Sdr Erri Subakti dan Teguh Suprayogi memang masuk dalam organisasi dan gerakan politik hendak mendirikan negara islam dan syariatisasi negara dalam pengertian formal. Maka, tentu saja dalam hal ini istilah "Islamis" cocok disematkan pada mereka berdua. Namun saya meragukannya.
Nah, mereka berdua menulis artikel tanggapan dengan penuh ketergesa-gesaan dan terkesan kuat prejudice pada diri penulis (baca: Sutomo Paguci). Sebaliknya, saya menulis artikel dengan penuh keseriusan, direncanakan, dan berefrensi. Sehingga tulisan saya yang pertama di atas dan tulisan yang sedang anda baca ini dapat saya pertanggungjawabkan dengan baik.
Disamping itu, saya cukup "jantan" tetap mampir di artikel mereka, membacanya dengan hati-hati, sampai tuntas, membubuhkan komentar, dan menulis artikel ini. Bandingkan dengan mereka berdua, yang kelihatan malu (atau gentar?) bubuhkan komentar di lapak saya. Karena kalau mereka bubuhkan komentar pasti akan saya "hajar" habis-habisan. He-he-he.
Jelas sekali artikel keduanya asal berbeda. Asal jeplak. Dan penuh pransangka jelek dan tuduhan tak berdasar. Bahkan, dugaan saya, jangan-jangan mereka tak membaca sampai utuh tulisan saya itu. Jangan-jangan hanya membaca judul saja, atau, paling banter membaca judul dan paragraf pertama doang. Namun sudah dengan "gagahnya" (atau gagah-gagahan?) membuat artikel sumir dengan penuh ketergesa-gesaan itu. He-he-he.
(SP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H