Sudah berapa banyak politisi di Indonesia ini yang melaporkan penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap dirinya. Sebut saja Zainal Maarif yang dilaporkan SBY; pemilik akun @TrioMacan2000 yang dilaporkan Syarif Hasan, Abdul Rasyid, dll. Terakhir yang masih hangat pemilik akun @benhan, Benny Handoko, dilaporkan Misbakhun ke polisi dan sekarang ditahan jaksa.
Saya tertarik mencermati hal ini: mengapa politisi begitu peka dengan nama baik? Jauh lebih peka dibandingkan orang kebanyakan yang biasa beraktifitas di media sosial atau dunia nyata.
Soal hina menghina di Twitter, Facebook, Kompasiana, kolom komentar Kompascom, detik, dll adalah cerita umum dan sangat banyak sekali terjadi. Bully membully. Tapi korban pembullyan nonpolitisi tidak sampai melapor ke polisi. Ngapain juga begituan diurusi, kecuali sudah parah sekali.
Bagi korban penghinaan nonpolitisi di media sosial logikanya barangkali sederhana. Seperti enggak ada kerjaan mengurusi kicauan negatif orang di media sosial. Kalau si Anu bin Fulan memfitnah di media sosial, ya, tinggal dibantah saja di media sosial yang sama. Beres.
Namun hal demikian tidak bagi kebanyakan politisi. Mengapa? Dugaan saya karena ini: jualan utama politisi adalah citra "nama baik". Citra inilah yang dijualnya ke mana-mana supaya mendapatkan pengaruh politik dan jabatan tertentu. Kebayang jika citra ini diruntuhkan oleh orang lain. Serasa dunia sudah hancur lebur. Karena dunia politisi ya citra itu.
Maka, rakyat mesti hati-hati ngehina politisi. Politisi itu meski sudah punya pengaruh luas, punya jabatan tinggi dan kaya raya tapi tak sungkan berperkara melawan warganya sendiri, memasukkan warganya ke penjara. Semua demi nama baik.
Ada tips berbahasa jika tak tertahan lagi mengkritik politisi terkait masalah yang berimplikasi hukum. Gunakan kata diduga, ditengarai, indikasi, menurut si anu (sumber), dst. Hindari kata langsung menuduh rampok, mencuri, beristri tiga, korupsi dsb kecuali memang sudah ada putusan hakim terkait hal yang dituduhkan dan putusan hakim itu sudah final.
Berabeh jika seperti Benhan. Ia menuduh Misbakhun merampok Century pada Desember 2012 lalu. Padahal, pada saat tuduhan itu dilayangkan Benhan, vonis peninjauan kembali (PK) kasus Misbakhun telah keluar dan Misbakhun dibebaskan hakim Mahkamah Agung. Logika hukumnya sangat sederhana. Sehingga wajar polisi menindaklanjuti kasus ini sampai melimpahkannya ke jaksa.
Apalagi jika media ngehinanya adalah internet. Kita tahu sejak tahun 2011 lalu telah ada UU No 8 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengancam penghinaan dan pencemaran nama baik di dunia maya dengan ancaman yang jauh lebih tinggi dibandingkan KUHP.
Sebagai kilas balik saja. Pasal-pasal pencemaran nama baik atau hatzaai artikelen dalam KUHP sejarahnya digunakan penjajah Belanda dulu untuk membungkam kaum pergerakan kemerdekaan di Indonesia. Dengan pasal-pasal karet itulah para tokoh kemerdekaan di Indonesia dijebloskan ke penjara jika dinilai mencemarkan pemerintah.
Akan tetapi ancaman hukuman dari penjajah Belanda dalam KUHP tersebut tidak terlalu berat. Berkisar 9 bulan sampai 4 tahun saja sebagaimana tersebut pada Pasal 310-316 KUHP. Ancaman hukuman demikian hanya ditambah 1/3 jika yang dihina adalah pejabat negara.
Bolehlah dikatakan penjajah Belanda lebih "sayang" pada warga jajahannya ketimbang pembuat UU ITE terhadap anak bangsa sendiri. Harus diingat kata kunci ini: hanya karena pencemaran nama baik.
Pada sisi lain ada rasionalitasnya mengapa ancaman pasal pencemaran nama baik di dunia maya lebih tinggi dibandingkan dalam KUHP. Sebab, penyebaran informasi di dunia maya jauh lebih cepat dan tak terkendali dibandingkan di dunia nyata. Dalam waktu sekejap informasi bisa tersebar ke seluruh dunia dan ini sulit untuk ditarik kembali.
Situasi demikian dapat menjadi pelajaran bagi siapapun penggiat dunia maya untuk berhati-hati dengan ancaman pasal UU ITE. UU ini dapat "memakan" siapapun anak bangsa, dari Prita Mulya Sari sampai Benny Handoko. Hanya karena dituduh mencemarkan nama baik.
(SP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H