Entah aliran fiqih apa yang dipakai sebagian kader dan suporter PKS tersebut, sehingga merasa dan berpikir bahwa AF (dan LHI) menerima uang dari pihak swasta bukan sebagai kejahatan (korupsi) dan tidak tergolong dosa dalam agama.
Bahwa penyelenggara negara menerima uang dari orang lain merupakan tindak pidana korupsi, pun nampaknya disadari oleh LHI. Karena itu, ia memakai tangan AF, yang nota bene bukan kader. Sayangnya lapisannya sangat tipis, hanya satu lapis hubungan (LHI-AF), sehingga hubungan LHI-AF gampang diendus aparat hukum. Tidak seperti mafia narkoba yang berlapis-lapis dimana antar lapisan saling tak kenal karenanya antar lapisan terputus, jadi relatif aman ketika salah satu tertangkap.
Simpulannya, partai terbuka butuh dana besar untuk meraup suara sebanyak mungkin kalangan pemilih. Realitas pendanaan partai di Indonesia saat ini tidak mencukupi dari sumber konvensional: iuaran anggota, bantuan perorangan dan korporasi, dan bantuan APBN. Jadi, partai harus cerdik mencari dana, kapan perlu nyerempet-nyerempet korupsi atau bahkan korupsi sekalian.
Uraian ini hanya analisa. Secara hukum LHI dan AF belum tentu bersalah sesuai asas praduga tak bersalah. Ada saja kemungkinan LHI dan AF tak terbukti bersalah di pengadilan, sekalipun ini kecil peluangnya.
(SP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H