Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Keterangan Yulianis Bukan Pencemaran Nama Baik

2 April 2013   20:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:50 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_252513" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (kompas.com)"][/caption] Penulis berpendapat, apa yang dinyatakan Yulianis di pengadilan bahwa Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menerima uang USD200,000, memang bukan pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud Pasal 310 KUHP. Alasan saya sedikit berbeda dengan pengajar hukum pidana Universitas Indonesia Ganjar Laksmana. Menurut Ganjar, apa yang dinyatakan Yulianis tersebut bukan pencemaran nama baik dengan alasan, pencemaran nama baik harus ada kata-kata negatif. Dimana dalam testimoni Yulianis tersebut tidak ada kata-kata negatif itu. Kecuali jika Yulianis bilang 'dikasih uang dari Nazaruddin', nah, baru memenuhi unsur pencemaran nama baik. Demikian sebagaimana dikutip dari Tribunnews.com (2/4/2013). Pendapat penulis, bukan pencemaran nama baik oleh karena apa yang dinyatakan oleh Yulianis tersebut merupakan keterangan yang diberikan dalam kedudukan sebagai saksi yang disumpah di muka pengadilan. Jadi saksi memang harus menyampaikan apa yang diketahui dan ditanya yang ada kaitannya dengan perkara. Kedudukan sebagai saksi itu yang memposisikan Yulianis harus menyampaikan apa yang diketahuinya. Jika tak menyampaikan apa yang diketahuinya maka Yulianis bisa terancam memberikan keterangan palsu. Yang paling prinsip, jika mengacu pada Pasal 310 KUHP, pasal yang mengatur delik pencemaran nama baik, bahwa tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas ditujukan demi kepentingan umum. "Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk mebela diri," demikian ditegaskan Pasal 310 Ayat (3) KUHP. Pasal 310 Ayat (3) KUHP ini yang acap dilewatkan banyak pihak termasuk praktisi hukum dalam kaitan dengan delik pencemaran nama baik lisan atau tulisan. Hal mana juga sebagaimana telah dibahas dalam disertasi doktoral Amir Syamsuddin, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia saat ini. Ada beberapa yurisprudensi putusan hakim terdahulu yang dapat dipedomani terkait 'kepentingan umum' sebagai syarat pengecualian dalam delik pencemaran nama baik dalam Pasal 310 KUHP. Sebut saja putusan Hoge Raad (HR) 11 Desember 1899, yang menyatakan dalam pertimbangannya, bahwa menuduh suatu hal yang benar adalah pencemaran, apabila pelaku buat demikian tidak demi kepentingan umum melainkan dengan hasrat untuk menghina atau melakukai orang. (R. Soenarto Soerodibroto, 2006: 188) Apa yang dinyatakan Yulianis tersebut jelas untuk kepentingan umum, karena dilakukan di persidangan pidana, yakni untuk mengungkap suatu tindak pidana korupsi yang merugikan negara dan perekonomian negara serta masyarakat banyak. Tindak pidana korupsi adalah musuh negara dan masyarakat. Di titik ini ada benarnya pernyataan Ganjar Laksmana. Bahwa apa yang dinyatakan oleh Yulianis tersebut hanyalah kata-kata yang bermuatan positif, bukan negatif, dimana hanya memberikan keterangan belaka sesuai arah pertanyaan di persidangan. Sama sekali tidak tercermin hasrat menghina atau melukai Ibas dari pernyataan Yulianis tersebut. Bahwa kemudian apa yang dinyatakan Yulianis tersebut menyebar di media massa, termasuk koran Sindo, sebagaimana didalilkan pihak Ibas, hanyalah pengulangan belaka dari apa yang dinyatakan Yulianis di persidangan. Satu dan lain hal persidangan pidana demikian terbuka untuk umum dan konsekuensinya apapun yang terjadi di persidangan, termasuk substansi keterangan Yulianis, tidak terlarang terekspose ke publik luas. Selain HR tanggal 11 Desember 1899, ada satu lagi putusan hakim terdahulu yang relevan dengan penerapan Pasal 310 KUHP. Yakni, putusan HR tanggal 3 Mei 1937, yang dalam pertimbangannya menyatakan: "Ada 'sesuatu hal' apabila hal ini dituduhkan sedemikian rupa sehingga menunjukkan sikap konkrit yang diketahui dengan jelas. Kemudian itu tidak perlu pula ditetapkan dengan suatu penentuan dan uraian yang teliti mengenai waktu dan tempatnya." (R. Soenarto, Ibid.) Apa yang dinyatakan Yulianis jelas dalam kedudukan sebagai saksi. Dalam kedudukan ini Yulianis tidak dalam posisi boleh memberikan keterangan yang tidak benar atau boleh memberikan keterangan palsu. Apa yang dinyatakannya sepenuhnya menurut apa yang diketahuinya. Dan, keterangan itu disampaikan dengan uraian dan data-data pendukung. Sebagai catatan kaki, Hoge Raad adalah Mahkamah Agung Kerajaan Belanda. Dahulu, sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, sistem hukum pidana Hindia Belanda mengacu pada Wetboek van Strafrecht atau KUHP buatan negeri Belanda. Berhubung sampai sekarang Indonesia belum membuat pengganti KUHP, maka KUHP buatan Belanda ini masih tetap berlaku dan semua putusan-putusan terkait KUHP sejak zaman Hindia Belanda sampai saat ini masih relevan untuk dijadikan rujukan. Dari segi substansi hukum keterangan Yulianis bukanlah tindak pidana pencemaran nama baik. Selain itu, dari segi proses beracara, kedudukan Yulianis adalah saksi kunci Wistleblower yang dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dimana LPSK sudah menyurati pihak Kepolisian untuk memprioritaskan kasus korupsi yang diungkap Yulianis dibandingkan laporan pencemaran nama baik oleh Ibas. Akan lebih baik jika kepolisian mengikuti saran LPSK. Saran LPSK tersebut sejalan dengan gerakan pemberantasan korupsi dan aspirasi publik. Jangan sampai terjadi gerakan pemberantasan korupsi terbungkam karena saksi kunci seperti Yulianis dimasukkan penjara sebelum perkara korupsi yang diungkapnya tuntas. Diskresi ada di tangan kepolisian. Polisi bisa saja menuruti saran LPSK atau sebaliknya. Namun kepolisian akan makin babak belur citranya di mata publik jika meneruskan kasus laporan Ibas tersebut. Bukan saja karena tak beralasan secara substansi hukum, melainkan juga akan dinilai tak pro dengan pemberantasan korupsi, malah pro pada kekuasaan. (SP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun