Rakyat tani awam sekali dengan hukum pertanahan dan hak-haknya. Advokasi terkait hal ini paling-paling dilakukan oleh NGO/LSM, seperti Warsi, LBH, PBHI, dll. Pemerintah baru turun jika ada korporasi pertanian atau lahan pertanian yang dikelola secara kelompok dan berbadan hukum, misalnya Koperasi dan Kelompok Tani.
Di kampung-kampung yang pelosok, sebut saja di pedalaman bernama Muarasiau, Madras, dan Jangkat, di Kabupaten Merangin, Jambi, rerata rakyat tani tak bergabung dalam Koperasi atau Kelompok Tani. Hal yang sama di pedalaman Bengkok, Curup, dan Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Tak ada lembaga atau pemerintah yang advokasi soal ini. Rakyat tani tak paham.
Tak heran jika bantuan-bantuan pemerintah tak sampai pada mereka. Bantuan hanya diberikan pada rakyat tani yang berkumpul dalam suatu wadah, minimal Kelompok Tani yang terdaftar di pemerintah setempat. Pembinaan wadah kelompok tani demikian baru terlihat pada petani-petani yang tergabung dari program transmigrasi, hal ini sebagaimana penulis amati di Bengkulu Utara. Kelompok Tani demikian mudah ditemui di Unit I-VIII di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Pengorganisasian para petani transmigran sudah lumayan bagus.
Dari uraian di atas terlihat betapa banyak masalah rakyat tani di Indonesia. Karenanya, peringatan Hari Tani Nasional, dan penyusunan rencana kerja untuk meningkatkan taraf hidup rakyat tani, sesuai amanat Keppres No 169/1963, masih relevan untuk dilaksanakan oleh negara cq. pemerintah.
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H