[caption id="attachment_290239" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas/Yulvianus Harjono)"][/caption] BARANGKALIÂ banyak anak bangsa yang tak tahu bahwa setiap tanggal 24 September merupakan Hari Tani Nasional. Maklum, pemerintah tak memiliki kepedulian serius tentang hal ini.
Terbukti, Hari Tani Nasional tidak diperingati secara resmi oleh negara. Padahal, sesuai amanat Keppres No 169 Tahun 1963 tentang Hari Tani, Presiden telah memutuskan tanggal 24 September sebagai Hari Tani Nasional.
Sesuai diktum Pertama Keppres ini Hari Tani Nasional perlu diperingati setiap tahun dengan hikmat, dan dirayakan dengan disertai kegiatan-kegiatan serta penyusunan rencana kerja ke arah mempertinggi taraf hidup rakyat tani. Nyatanya, Hari Tani Nasional tak diperingati secara resmi.
Sementara, permasalahan dunia pertanian begitu banyak dan pelik. Banyak konflik agraria, terutama antara petani tradisional dan korporasi, yang diperparah dengan lemahnya penegakan hukum oleh negara. Pada saat yang sama, terjadi peralihan fungsi lahan pertanian secara besar-besaran.
Sensus Pertanian 2013 menyebutkan, hilangnya lima juta rumah tangga petani, sebaliknya perusahaan pertanian justru meningkat 1.475 (rmol.co, 23/9/2013). Hidup rakyat tani memang semakin sulit. Kiri-kanan mendapat serangan yang mematikan. Selain harus bersaing dengan koporasi pertanian, juga harus berjibaku dengan tingginya biaya produksi, dan rendahnya nilai jual hasil panen--umumnya petani tradisional di kampung-kampung pelosok menjual hasil taninya ke tengkulak. Sehingga keluarga tani tradisional sulit mengandalkan hidup dari lahannya.
Bisa dimengerti jika negara agraris ini justru impor pangan. Pengadaan kedelai saja sampai kedodoran. Belum lagi impor beras, bawang, susu, dan daging.
Dunia pertanian memang tak menarik lagi, khususnya bagi para petani tradisional dengan lahan pas-pasan dan pembinaan nyaris tak ada. Suatu fakta ironis sebuah negara agraris. Belum lagi banyak keluarga tani terpaksa menyambung nyawa berkonflik dengan korporasi pertanian demi mempertahankan lahannya. Kasus begini banyak sekali terjadi di mana-mana di Indonesia ini, mulai dari Mesuji di Lampung sampai Pasaman Barat di Sumatera Barat. Petani terancam.
Sebagai keluarga petani, penulis mencatat kesuraman ini dengan seksama. Pemerintah lebih nampak melindungi korporasi berbadan hukum ketimbang rakyat tani tradisional, yang bertani tanpa wadah badan hukum. Ketika terjadi konflik agraria antara rakyat tani vis-a-vis korporasi pertanian maka aparat negara lebih condong memihak korporasi. Semakin sulitlah posisi rakyat tani.
Benih konflik agraria antara lain tergambar begini. Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan negara kepada koporasi pertanian harus dibuat di atas tanah negara. Sementara, faktanya, tanah-tanah di desa-desa pelosok banyak dikuasai oleh rakyat, baik perorangan maupun dalam sistem hukum adat seperti tanah ulayat. Maka, solusinya, tanah ulayat tersebut dikonversi dulu menjadi tanah negara, lalu baru dapat diberikan HGU-nya pada korporasi pertanian.
Banyak sekali "muslihat" di sini. Supaya dapat dikonversi menjadi tanah negara haruslah ada semacam 'penyerahan' dari rakyat selaku pemilik ulayat kepada negara. Penyerahan tanah ini dimaknai rakyat hanya sebagai pinjaman saja, bukan permanen. Akan tetapi kenyataannya lebih condong ke permanen. Negara seolah berubah menjadi pemilik lahan. Sehingga HGU akan terus diperpanjang berpuluh-puluh tahun lamanya. Gigit jarilah rakyat tani.
Sedangkan aturannya sudah jelas. Bahwa sesuai UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), negara bukanlah pemilik tanah. Negara hanya 'menguasai' tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak penguasaan negara itu diwujudkan dalam bentuk regulasi persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah.