Konstalasi politik akhir-akhir ini mengirim sinyal buruk pada seorang Prabowo Subianto. Hal ini tak terlepas kunjungan Wamenkumham Denny Indrayana ke Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court/ICC), di Den Haag, Belanda (6/3/2013), untuk menjajaki rencana Indonesia meratifikasi Statuta Roma dan bergabung dalam yuridiksi ICC, di akhir masa pemerintahan SBY-Budiono.
Walaupun secara teknis hukum tidak mudah memenuhi persyaratan sebuah kasus kriminal dibawah ke ICC, namun setidaknya rencana Indonesia tersebut dapat menggumpal secara politik dan merugikan citra politik Prabowo menuju pencapresan tahun 2014 mendatang.
Suatu kebetulan Prabowo diundang bertemu SBY, Senin (11/3/2013) lalu. Dalam kaitan ini, tidak begitu jelas apa persisnya materi yang mereka berdua bicarakan pada pertemuan tersebut. Hanya disebutkan, tidak ada topik yang spesifik selain masalah yang dihadapi negara.
Guru besar hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana menduga ada kaitan antara pertemuan Denny-ICC dengan pertemuan Prabowo-SBY tersebut, sebagaimana dikutip dari rmol.co (13/3/2013). Dimana fokus Prabowo membicarakan dampak politis jika Indonesia meratifikasi Statuta Roma di tahun politik 2013-2014 ini.
Pertemuan SBY-Prabowo tersebut simultan dengan pembentukan opini di media, bahwa ratifikasi Statuta Roma tidak tepat dilakukan saat ini karena dapat menimbulkan dampak instabilitas politik.
Jika benar dugaan Prof Hikmahanto tersebut, dan dihubungkan dengan opini yang berkembang di media belakangan ini, maka perlu dipertanyakan rasio instabilitas politik jika Indonesia meratifikasi Statuta Roma. Kalau pun ada gangguan-gangguan keamanan maka itu jelas tindak kriminal dan harus diatasi oleh aparat negara. Negara tidak boleh kalah dengan teror.
Dalam pada itu, andai ada pihak yang mendesakkan pendekatan-pendekatan teror, sehingga menggoyahkan stabilitas keamanan dan politik di tanah air menjelang 2014, maka aparat keamanan harus bertindak tegas. Pelaku biang rusuh bisa ditangkap, termasuk jika itu politisi sekalipun.
Statuta Roma tersebut baik bagi Indonesia sekaligus baik bagi korban kejahatan kemanusiaan dan genocida yang pernah terjadi di Indonesia. Harapannya, keadilan bagi korban dan keluarganya dapat dicapai dan kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Sebaliknya, Statuta Roma tersebut memang tidak baik bagi para pelaku yang berpotensi diseret ke ICC. Itu jelas.
Sebagaimana diketahui, sampai saat ini belum ada pengusutan berarti atas dugaan keterlibatan Prabowo Subianto dalam penculikan massal dan penghilangan paksa atas aktivis pro-Reformasi 1997-98.
Dalam hubungan ini, Prabowo sudah mengakui memerintahkan Tim Mawar Kopassus menculik para aktivis, dimana beberapa anggota Tim Mawar telah diproses hukum serta divonis bersalah oleh hakim. Sayangnya, belum ada proses hukum pro-justisia yang sama terhadap komandan yang memberi perintah pada Tim Mawar itu, yakni Prabowo Subianto.