[caption id="attachment_287782" align="aligncenter" width="600" caption="pjmedia.com - ilustrasi"][/caption] Mau poligami atau monogami ada di wilayah pilihan pribadi individu. Presiden PKS Anis Matta memilih untuk poligini. Sebaliknya Wasekjen PKS Fahri Hamzah memilih tidak (belum?) poligini. Ini sekedar contoh saja. Karena itu pilihan berupa penolakan terhadap poligami bukan berarti mengharamkan poligami. Itu dua hal yang berbeda. Sama dengan orang yang menolak makan nasi bukan berarti mengharamkan nasi. Biasanya diskusi seputar kampanye tolak poligami suka kepeleset dengan penilaian bahwa kampanye demikian dianggap mengharamkan sesuatu yang halal. Padahal bukan itu esensinya. Esensinya adalah mengkampanyekan pilihan bebas individu untuk menolak poligami. Kampanye tolak poligami urgen digaungkan di tengah makin maraknya "dakwah" sekalangan orang untuk menyemarakkan praktik poligami. Sampai-sampai ada group dukung poligami segala. Padahal, yang layak untuk dikampanyekan adalah hidup setia dengan pasangan, menolak "jajan" ke luar ataupun poligami. Agama Islam, misalnya, menganjurkan untuk setia dengan satu pasangan (monogami). Poligami memang dibolehkan tapi dengan pengecualian. Pengecualian itu dengan memenuhi syarat-syarat, baik syarat syar'i maupun syarat formil hukum negara. Syarat syar'i, terutama mampu berlaku adil (kualitatif), nyaris tak mungkin mampu dilakukan manusia. Menggauli istri bisa digilir secara adil. Begitupun nafkah uang bisa dibagi dengan rata atau sesuai kebutuhan masing-masing istri dengan adil (rata). Akan tetapi keadilan menyangkut perasaan sangat sulit untuk didistribusikan dengan benar. Sekelas Nabi Muhammad SAW saja demikian kesulitan berpoligami. Memang poligami Nabi berakhir sukses. Namun untuk sampai sukses demikian setelah melalui lika-liku yang luar biasa. Sampai-sampai Nabi sempat mendiamkan istri-istrinya yang berprilaku cemburuan. Nah, contoh Nabi itu mau dibawa bawa ke era kekinian dengan berbagai latar belakang pemahaman agama, kemampuan ekonomi, dan pengetahuan seputar berkeluarga. Tentu saja contoh poligami yang dilakukan Nabi tidak bisa diterapkan secara rata pada semua orang dengan lugu-lugu saja. Seolah dengan poligami artinya nyunah. Itulah guna syarat-syarat syar'i dan hukum negara yang mengatur dengan ketat kebolehan poligami. Hanya yang memenuhi syarat saja yang boleh poligami. Yang tidak memenuhi syarat tidak boleh poligami dan permohonannya pasti ditolak hakim. Logikanya, jika poligami boleh bagi siapapun tentu tak perlu syarat-syarat segala. Karena beratnya syarat poligami maka marak poligami di bawah tangan (nikah liar). Dalam keadaan begini tentulah pihak perempuan yang paling rentan jadi korban. Tidak ada pegangan dan legalitas perkawinan di hadapan hukum negara. Sehingga tanggung jawab suami tak bisa dipaksa ketika berhadapan dengan hukum. (Sutomo Paguci)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H