Dalam artikel sebelumnya telah saya bahas, bahwa tidak ada korelasi langsung antara pengumuman capres sebelum pileg dengan kemenangan suatu partai dalam pileg. Elektabilitas parpol dan capres adalah dua hal yang terpisah. Elektabilitas parpol merupakan resultan elektabilitas caleg-caleg parpol ybs, sedangkan elektabilitas capres murni dari diri capres ybs, apapun parpolnya.
Dalam hubungan ini tidak ada urgensinya pengumuman capres sebelum pileg. Toh pileg memilih orang (caleg), bukan memilih capres, dan bukan pula memilih partai. Oleh karena itu, yang paling proporsional, baik per teoritis mapun secara faktual, pengumuman capres setelah hasil pileg diketahui.
Apalagi parpol-parpol yang telah umumkan capres sebelum pileg tersebut belum tentu otomatis lolos presidential threshold, 25 suara sah nasional atau 20% kursi DPR. Jangan gede rasa dulu.
Dengan demikian, terbantahkan argumen yang menyatakan, bahwa perolehan suara PDIP akan terkatrol naik jika Jokowi diumumkan sebagai capres sebelum pileg atau paling lambat Januari 2014 ini. Diumumkannya capres sebelum atau sesudah pileg tak akan berpengaruh signifikan bagi perolehan suara partai. Ini berlaku bagi partai apapun.
Jika demikian halnya, apa hubungan antara caleg dengan capres bila elektabilitas partai dan elektabilitas capres menjadi dua hal yang terpisah? Sederhana saja. Capres diumumkan sebelum atau sesudah pileg, bagi caleg sebuah partai, bukan soal. Toh, caleg parpol tak bisa dompleng ketenaran seorang capres, sebab itu dua hal yang terpisah.
Yang bisa dilakukan caleg sebuah partai adalah mempromosikan capresnya semata-mata untuk tujuan kebesaran capres bersangkutan sekaligus kebesaran partai tempat capres itu bernaung. Bukan sebaliknya.
Jangan bermimpi caleg bisa merayu pemilih dengan menempelkan foto capres pada baliho kampanyenya. Jokowi ya Jokowi, bukan caleg si Anu bin Fulan. Paling-paling pemilih jadi mafhum "oh caleg dari partainya Jokowi ya." Itu saja.
Harus diingat, bahwa pemilih dalam pileg bukan memilih capres, melainkan memilih figur caleg. Karena itu, pengagum Jokowi tidak otomatis akan memilih caleg di dapilnya yang berasal dari PDIP. Bisa jadi caleg PDIP itu, misalnya, memiliki kharakter yang "amburadul". Sehingga pemilih mungkin sekali menjatuhkan pilihan pada caleg partai lain.
Hal yang sama berlaku pada kader-kader partai lain. Survei Cirus (20 November-30 Desember 2013) membuktikan, sekitar 44,7% kader partai Demokrat akan memilih Jokowi dalam pilpres. Dalam pileg kita tak tahu pasti, apakah kader Demokrat yang akan memilih Jokowi tersebut otomatis memilih caleg kader Demokrat juga, kuat dugaan akan memilih kader Demokrat.
Dari 2.200 responden yang dijadikan sampel survei Cirus Surveyors Group, Jokowi mendapat dukungan 64,5% dari kader PDIP, 21,7% dari kader Golkar, 21,8% dari kader Gerindra, dan 44,7% dari kader Demokrat.
Hubungan caleg dan capres bukan umpama benalu, dimana caleg dapat menyedot sari popularitas capres untuk kemenangan dirinya. Tidak.