Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

NU-Muhammadiyah Menolak Syariatisasi Negara

1 Februari 2014   07:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16 2347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_293166" align="aligncenter" width="600" caption="www.latinamericastudies.org - Peta Indonesia"][/caption] Dua ormas Islam terbesar di Indonesia Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dengan tegas menerima Pancasila dan bersamaan menolak konsep Negara Islam atau Gerakan Islam Syariat di Indonesia yang antara lain tercermin dari perjuangan mengembalikan Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945. Piagam Jakarta (Jakarta Charter) adalah dokumen historis hasil kompromi pihak Islam dan pihak kebangsaan (nasionalis), dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang disusun oleh Panitia Sembilan, tanggal 22 Juni 1945. Isi Piagam Jakarta sama dengan bunyi Pembukaan UUD 1945 saat ini, terkecuali ada perbedaan pada bunyi sila ke-1 Pancasila dengan redaksi "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Drs Moh Hatta mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut, atas usul A.A. Maramis, dan setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hasan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo. Tujuh kata itu kemudian diganti dengan kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa", yang disepakati dan disahkan pada saat pengesahan UUD 1945 dalam sidang PPKI, tanggal 18 Agustus 1945. Maka gagallah Indonesia berlandaskan syariat Islam. Kalangan Islamis atau Gerakan Islam Syariat tak henti-hentinya berjuang mengembalikan Piagam Jakarta tersebut, sebagian terang-terangan hendak mendirikan Negara Islam, dan sebagian lagi berjuang dengan jalur kekerasan (pemberontakan). Namun NU dan Muhammadiyah tetap konsisten menerima Pancasila dan menolak konsep Negara Islam dan syariatisasi negara. Pancasila diyakini sebagai jalan tengah yang menjembatani kaum agama dan nasionalis. Saat gencar-gencarnya perjuangan mengembalikan Piagam Jakarta dalam momen amandemen UUD 1945 pada persidangan DPR RI tahun 1999-2002, yang dilakukan oleh PPP dan PBB, NU-Muhammadiyah tetap kompak menolak Piagam Jakarta dan meneguhkan komitmen menerima Pancasila. Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara resmi mengeluarkan Maklumat/Surat Edaran No. 10/EDR/I.0/2002 bertanggal 16 Agustus 2002, yang intinya tidak mendukung atau menolak usaha menghidupkan kembali Piagam Jakarta, baik karena alasan substansi maupun strategi. Dikatakan bahwa Muhammadiyah lebih mendukung dakwah dan pembinaan umat di lingkup masyarakat. Begitu pula dengan NU. Pada tanggal 11 Agustus 2000, NU menyatakan menolak Amandemen UUD 1945 Pasal 29 maupun Pembukaan UUD 1945 yang hendak memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta karena tidak diperlukan baik dari tujuan filosofis, historis, maupun substansi ajaran Islam. Penolakan Nu-Muhammadiyah terhadap upaya memasukkan Piagam Jakarta dalam UUD 1945 tersebut terekam pula dalam laporan Majalah Forum Keadilan, Edisi no. 39 (31 Desember 2000), yang secara khusus menulis laporan utama tentang gerakan penerapan syariat Islam yang dilakukan sejumlah kelompok umat Islam di bawah judul "Mengapa Tidak Negara Islam." Setahun kemudian giliran majalah TEMPO, Edisi no. 36/XXX/5 (11 November 2001), yang menurunkan laporan utama khusus mengenai gerakan perjuangan menegakkan Piagam Jakarta dari kalangan Islam dalam judul "Siapa Mau Syariat Islam." Konsistensi NU-Muhammadiyah dalam menolak syariatisasi negara, dan bersamaan menerima Pancasila, sudah teruji dalam garis sejarah sejak tahun 1959 hingga saat ini. Kuat tak tergoyahkan. Yang ditolak adalah syariatisasi dalam lapangan hukum publik pidana, tata negara, dan administrasi negara. Sedangkan untuk lapangan hukum privat---perkawinan, waris, perjanjian, perbankan syariah, dll---sama sekali tidak dipermasalahkan atau diterima baik oleh NU dan Muhammadiyah. Mungkin pengusung Gerakan Islam Syariat dapat menggunakan otaknya untuk berpikir; mengapa dua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut menolak Gerakan Islam Syariat atau menerima Pancasila? Tak mungkin NU-Muhammadiyah menolak Gerakan Islam Syariat tanpa alasan yang sangat kuat, baik secara argumen teks agama mapun praktis-strategi. (Sutomo Paguci)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun