SETIAP MANUSIA adalah konsumen, disadari atau tidak. Dalam perspektif yang lebih luas, bahkan ada anggapan bahwa kita adalah konsumen dari produk politik yang disebut "hukum".
Demikian luasnya pengertian konsumen seperti dilukiskan secara sederhana oleh Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy dengan mengatakan, "Consumers by definition include us all". [1] Permasalahan kebutuhan hidup yang dihadapi konsumen mulai "saat benih hidup dalam rahim ibu, sampai dengan pemakamannya, dan kesemua kebutuhan-kebutuhan konsumen diantara keduanya".[2] Namun demikian, siapa-siapa konkritnya konsumen itu, paling tidak di Indonesia hingga saat ini, belum ada kesatuan pendapat.
Paling tidak terdapat dua pandangan yang berbeda tentang pemanfaat jasa pelayanan kesehatan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa pemanfaat jasa pelayanan kesehatan merupakan konsumen,[3] dan ada pula yang berpendapat sebaliknya, bukan konsumen. Pendapat pertama menyatakan bahwa pelayanan kesehatan merupakan jasa yang dapat diperjualbelikan dan karenanya pemanfaat jasa tersebut adalah konsumen.
Sementara itu, kalangan lain berpendapat  bahwa pemanfaat jasa pelayanan kesehatan bukan konsumen.[4] Dus itu artinya, pemanfaat jasa pelayanan kesehatan bukan pembeli atau bukanlah konsumen. Hal senada juga dianut oleh kalangan kedokteran, dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang menganggap tindakan dokter merupakan bentuk pertolongan yang tidak menjanjikan kesembuhan dan karenanya orang yang ditolong bukanlah konsumen,[5] sehingga menurut mereka, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak dapat diterapkan terhadap tenaga kesehatan, dalam hal tenaga kesehatan melakukan kesalahan atau kelalaian profesi.[6]
Selama ini, penerima jasa pelayanan kesehatan dari sudut perlindungan konsumen cukup krusial. Kesalahan atau kelalaian profesi (malpraktik) yang dilakukan tenaga kesehatan jarang terungkap.[7] Diantara sebabnya adalah kesulitan pembuktian. Para penegak hukum kesulitan untuk membuktikan telah terjadi kesalahan atau kelalaian profesi karena tindakan tenaga kesehatan bersifat sangat teknis spesialistik yang sulit dipahami oleh orang yang tidak mengerti keahlian yang sama. Apalagi di bidang kedokteran, hal tersebut ditambah lagi dengan suatu ketentuan bahwa apa yang dilakukan oleh dokter hanyalah berupa upaya atau ikhtiar maksimal untuk menyembuhkan pasiennya (inspanning verbintenis).[8] Jika seorang dokter telah berupaya maksimal berdasarkan standar profesi serta kode etik dan mendapat izin dari pasien (informed consent), maka hal tersebut telah cukup, dan dokter tersebut tidak dapat lagi dituduh telah melakukan kesalahan atau kelalaian profesi.
Sesungguhnya, kesulitan pembuktian terhadap kesalahan atau kelalaian profesi yang dilakukan tenaga kesehatan (malpraktik) dapat diatasi kalau UUPK dapat diterapkan pada kasus tersebut. Karena pada prinsipnya, UUPK menganut asas beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast, presumption of liability principle, shifting/reverse the burden of proof), artinya, pelaku usahalah (baca: rumah sakit/tenaga kesehatan) yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah.[9]
Di Indonesia, memang belum ada penelitian yang menyeluruh tentang berapa banyak terjadi medication error (ME) atau malpraktik medik. Namun, sebagai perbandingan, di negara maju seperti Amerika Serikat menurut laporan Institue of Medicine USA tahun 2001 bahwa ME membunuh hampir 100 ribu penduduk Amerika per tahun. Angka ini empat kali lebih besar dari kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Prevalensi (tingkat kejadian) efek samping ME pada tahun 2001 berkisar antara 3,7 persen hingga 16, 6 persen di Amerika, di Australia dengan resiko kecacatan bervariasi antara 4,2 hingga 13, 7 persen. Di negara berkembang dan miskin bisa jadi lebih buruk meski tak terdapat angka pasti atau tak terlaporkan, seperti di Indonesia.[10]
Sementara itu, studi di intensive care unit (ICU) di sebuah rumah sakit di Israel melaporkan keadaan yang jauh lebih memperihatinkan, yaitu terjadi ME 1,7 kali per hari. Pada sebuah penelitian rumah sakit Salk Lake City menemukan efek samping serius sebesar 1,7 persen pasien rawat inap. Namun ternyata setelah riset ulang menggunakan parameter lebih rinci menunjukan angka kejadian lebih tinggi, yakni 5,5 persen. Di bagian bedah, prevalensi ME jauh lebih tinggi. Seperti di Chicago Teaching Hospital, 45,8 persen pasien mengalami ME. Sebanyak 18 persen di antaranya tergolong ME serius dengan efek samping kecacatan sementara.[11]
Kecenderungan maraknya malpraktik yang muncul kepermukaan akhir-akhir ini, sesungguhnya mempunyai sisi yang delematis. Di satu sisi, pasien perlu medapatkan perlindungan hukum dan keadilan. Dan di sisi lain, sikap kritis masyarakat terhadap (dugaan) malpraktik medik yang dilakukan tenaga kesehatan dapat menimbulkan ketakutan dan kecemasan tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya karena sewaktu-waktu mereka dapat saja dihadapkan ke pengadilan.
Suasana ketakutan dan kecemasan yang melingkupi profesi kedokteran dikhawatirkan akan mendorong terjadinya defensive medicine, yakni para dokter akan melakukan langkah-langkah proteksi yang belebihan terhadap dirinya untuk menghadapi pelbagai tuntutan. [12] Misalnya, dengan meminta pemeriksaan-pemeriksaan yang sebenarnya tidak perlu (pasien hanya pilek diminta untuk periksa foto rontgen, fungsi hati, dan sebagainya), atau para dokter dan rumah sakit mengasuransikan semua pelayanannya sedangkan biaya tentu saja dibebankan pada pasien. Ujung-ujungnya, pasienlah yang kemudian paling dirugikan karena membumbungnya biaya pelayanan kesehatan.[13]
Dengan instrumen hukum UUPK, keadaan dilematis di atas diharapkan dapat diminimalisasi karena pada prinsipnya UUPK memberikan perlindungan yang seimbang kepada pelaku usaha dan konsumen. Tinggalah lagi, apakah UUPK dapat diterapkan pada kasus kesalahan atau kelalaian profesi (malpraktik) yang dilakukan tenaga kesehatan di antara dua kutub pendapat yang berbeda tersebut di atas.