Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jaksa Tak Profesional, dari Kasus Merpati sampai IM2

3 Maret 2013   09:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:24 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya, ya, beginilah cerita kasus itu. Pengadilan Tipikor Jakarta membuat sejarah membebaskan terdakwa perkara korupsi untuk pertama kalinya sejak pengadilan ini pertama dibentuk tahun 2004 lalu.

Kasus IM2

Apa yang dilakukan kejaksaan di atas hemat penulis menggejala dari pusat hingga daerah. Selain kasus sewa pesawat merpati, saat ini lagi heboh kasus korupsi PT Indosat Mega Media (IM2) yang juga ditangani kejaksaan. Kasus ini amat sangat lucu dan memprihatinkan, kok bisa-bisanya dituntut ke pengadilan.

Dalam kasus IM2 tersebut, jaksa tak bisa bedakan "jaringan" dan "frekuensi". Dibilangnya bahwa personil PT IM2 korupsi karena menjual "frekuensi" tanpa izin pemerintah. Padahal, yang dilakukan PT IM2 hanyalah menjual "jaringan" yang memang milik sendiri (milik PT Indosat, induk perusahaan PT IM2). Logikanya amat sangat sederhana, memasarkan barang sendiri---apakah itu sebuah kejahatan (baca: korupsi)?

Konsekuensi hukum dari kenekatan jaksa tersebut sangat serius. 280 internet service provider (ISP) terancam bubar dan pengurusnya terancam sanksi pidana. Bisa-bisa kiamat internet, yang bisa merugikan ratusan bahkan ribuan trilun rupiah, hanya gara-gara jaksa "gagah-gagahan" (baca: tak profesional).

Perjanjian jadi korupsi

Kasus di atas terjadi di pusat. Di level daerah pun penulis pernah menangani kasus keperdataan lebih kurang serupa, yang dipaksakan jaksa naik ke pengadilan. Inti peristiwa hukum yang didakwa jaksa adalah, perjanjian pinjam-meminjam uang antara seorang PNS (kepala dinas) dengan seorang swasta, yang kemudian mengalami gagal bayar (macet/wanprestasi).

Jaksa bilang sebagai korupsi karena pinjaman kepala dinas itu merupakan pinjaman pemerintah karenanya harus persetujuan DPRD. Padahal, sudah jelas-jelas perjanjian hitam di atas putihnya adalah pinjaman uang secara pribadi si PNS (kepala dinas) itu pada pihak swasta, hanya kebetulan saja ada tandatangan sebagai "mengetahui" dari seseorang yang kebetulan menjabat bupati (kedudukan saat bertandatangan ini secara pribadi, bukan jabatan) karena pertimbangan kenal baik dengan si kepala dinas, dan pihak swasta meminta demikian karena pinjamannya cukup besar (ratusan juta rupiah).

Tentu saja majelis hakim bulat memutus terdakwa perkara demikian dengan vonis bebas. Jaksa, sebagaimana kasus Hotasi, tetap juga mengajukan permohonan kasasi. Padahal, KUHAP jelas-jelas menyatakan putusan bebas tidak boleh dikasasi. Namun jaksa tetap juga ngotot kasasi. Pelanggaran hukum acara begini menggejala di maana-mana di Indonesia ini. Dalam contoh kasus yang penulis tangani tersebut, hakim agung tetap membebaskan para terdakwa.

Solusi hukum dari kasus ini juga mirip dilakukan Merpati. Pihak yang dirugikan (pihak swasta) mengajukan gugatan pada si PNS yang berhutang supaya mengembalikan hutangnya. Gugatan dikabulkan hakim dan si berhutang dihukum untuk membayar jika tidak dipaksa bayar (sita eksekusi). Kemudian terjadi pembayaran itu. Selesai.

Saran dan pertanggungjawaban

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun