Akhirnya, ya, beginilah cerita kasus itu. Pengadilan Tipikor Jakarta membuat sejarah membebaskan terdakwa perkara korupsi untuk pertama kalinya sejak pengadilan ini pertama dibentuk tahun 2004 lalu.
Kasus IM2
Apa yang dilakukan kejaksaan di atas hemat penulis menggejala dari pusat hingga daerah. Selain kasus sewa pesawat merpati, saat ini lagi heboh kasus korupsi PT Indosat Mega Media (IM2) yang juga ditangani kejaksaan. Kasus ini amat sangat lucu dan memprihatinkan, kok bisa-bisanya dituntut ke pengadilan.
Dalam kasus IM2 tersebut, jaksa tak bisa bedakan "jaringan" dan "frekuensi". Dibilangnya bahwa personil PT IM2 korupsi karena menjual "frekuensi" tanpa izin pemerintah. Padahal, yang dilakukan PT IM2 hanyalah menjual "jaringan" yang memang milik sendiri (milik PT Indosat, induk perusahaan PT IM2). Logikanya amat sangat sederhana, memasarkan barang sendiri---apakah itu sebuah kejahatan (baca: korupsi)?
Konsekuensi hukum dari kenekatan jaksa tersebut sangat serius. 280 internet service provider (ISP) terancam bubar dan pengurusnya terancam sanksi pidana. Bisa-bisa kiamat internet, yang bisa merugikan ratusan bahkan ribuan trilun rupiah, hanya gara-gara jaksa "gagah-gagahan" (baca: tak profesional).
Perjanjian jadi korupsi
Kasus di atas terjadi di pusat. Di level daerah pun penulis pernah menangani kasus keperdataan lebih kurang serupa, yang dipaksakan jaksa naik ke pengadilan. Inti peristiwa hukum yang didakwa jaksa adalah, perjanjian pinjam-meminjam uang antara seorang PNS (kepala dinas) dengan seorang swasta, yang kemudian mengalami gagal bayar (macet/wanprestasi).
Jaksa bilang sebagai korupsi karena pinjaman kepala dinas itu merupakan pinjaman pemerintah karenanya harus persetujuan DPRD. Padahal, sudah jelas-jelas perjanjian hitam di atas putihnya adalah pinjaman uang secara pribadi si PNS (kepala dinas) itu pada pihak swasta, hanya kebetulan saja ada tandatangan sebagai "mengetahui" dari seseorang yang kebetulan menjabat bupati (kedudukan saat bertandatangan ini secara pribadi, bukan jabatan) karena pertimbangan kenal baik dengan si kepala dinas, dan pihak swasta meminta demikian karena pinjamannya cukup besar (ratusan juta rupiah).
Tentu saja majelis hakim bulat memutus terdakwa perkara demikian dengan vonis bebas. Jaksa, sebagaimana kasus Hotasi, tetap juga mengajukan permohonan kasasi. Padahal, KUHAP jelas-jelas menyatakan putusan bebas tidak boleh dikasasi. Namun jaksa tetap juga ngotot kasasi. Pelanggaran hukum acara begini menggejala di maana-mana di Indonesia ini. Dalam contoh kasus yang penulis tangani tersebut, hakim agung tetap membebaskan para terdakwa.
Solusi hukum dari kasus ini juga mirip dilakukan Merpati. Pihak yang dirugikan (pihak swasta) mengajukan gugatan pada si PNS yang berhutang supaya mengembalikan hutangnya. Gugatan dikabulkan hakim dan si berhutang dihukum untuk membayar jika tidak dipaksa bayar (sita eksekusi). Kemudian terjadi pembayaran itu. Selesai.
Saran dan pertanggungjawaban