Tidak sulit untuk mendakwa dan membuktikan dakwaan di pengadilan. Cukup buktikan fakta yang didakwakan. Lalu, setelah faktanya terbukti, cocokan dengan pasal hukum apakah fakta itu merupakan tindak pidana atau bukan.
Kemudian, kalau fakta tersebut merupakan tindak pidana, apakah bisa dipertanggungjawabkan pada terdakwa atau tidak. Jika semua cocok, artinya, terdakwa dapat dipersalahakan melakukan tindak pidana dan dituntut hukuman sekian tahun. Sebaliknya, jika tidak cocok maka terdakwa harus dituntut bebas. Sesederhana itu.
Namun yang terjadi, acap jaksa memaksakan suatu kasus ke pengadilan dan merumit-rumitkan kasus yang sebenarnya amat sangat sederhana. Sudah jelas-jelas fakta hukum yang terungkap di pengadilan bukanlah tindak pidana, akan tetapi jaksanya tetap ngotot menuntut terdakwa sekian tahun penjara.
Kasus Merpati
Contohnya kasus yang lagi hangat, sewa pesawat oleh Direktur Utama Merpati Hotasi Nababan. Jaksa mendakwa Hotasi telah korupsi karena pesawat yang disewa dari TALG Amerika Serikat tidak kunjung datang dan security deposit US$ 1 juta (setara Rp9 miliar) tidak dikembalikan oleh TALG dan perusahaan kustodian (Hume and Associates).
Dalam persidangan terbukti memang ada fakta hukum berupa sewa dua pesawat itu, juga terbukti dua pesawat bersangkutan tak tiba ke Indonesia sesuai jangka waktu yang disepakati, serta security deposit US$ 1 juta tidak bisa ditarik kembali karena TALG dan Hume and Associates mengalami pailit.
Konstruksi dari fakta hukum demikian harusnya sederhana. Intinya, sewa-menyewa yang macet. Harusnya jaksa tidak merumit-rumitkan pikiran. Karena fakta hukum itu amat sangat sederhana. Konstruksi hukumnya adalah perdata. Sewa menyewa adalah konstruksi hukum perdata. Sewa-menyewa yang macet adalah bentuk wanprestasi (ingkar janji) yang tanggung-gugatnya bersifat keperdataan, bukan pidana.
Untuk mengujinya dengan pertanyaan sederhana. Apakah sewa menyewa merupakan kejahatan? Tentu saja bukan! Kemudian, apakah kalau terlambat memberikan barang sesuai perjanjian yang disepakati dalam sewa-menyewa, merupakan kejahatan? Sekali lagi, bukan! Semua itu perdata, tidak ada anasir kejahatan di sana.
Solusi hukum dari masalah demikian pun sederhana. Pihak yang dirugikan (Merpati) mengajukan gugatan perdata terhadap TALG dan Hume and Associates. Dan hal ini telah dilakukan oleh pihak Merpati dan dimenangkan oleh hakim Federal Court di Washington DC, hanya saja tak bisa dieksekusi karena TALG dan Hume and Associate mengalami pailit.
Berhubung dakwaan tak terbukti, harusnya jaksa menuntut bebas Hotasi di pengadilan. Tidak seperti kejadian tempo hari. Jaksa tetap memaksakan diri menuntut Hotasi 4 tahun penjara dan denda Rp500 juta. Padahal, di pengadilan nyaris tak ada saksi dan bukti yang menguatkan dakwaan jaksa tersebut.
Wajar saja Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membebaskan Hotasi, Selasa (19/2/2013). Sangat tidak masuk akal secara hukum jika terdakwa dipidana atas fakta hukum demikian. Benarlah kata mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu, jika Hotasi dinyatakan bersalah, maka seluruh direksi BUMN dapat dijerat pidana jika kebijakan bisnisnya salah.