Saya merasa Tuhan memang ada salah satunya saat berada dalam kendaraan. Manakala sudah naik kendaraan, semua perlengkapan keamanan telah difungsikan, rambu-rambu telah dipatuhi, dan batas kecepatan dijaga, maka yang tersisa hanya pasrah.
Ketika sudah duduk di bangku pesawat, mesin terasa gemuruh, lalu pelan-pelan pesawat bergerak siap tinggal landas. Saya tak melihat pengecekan apakah benar pesawat siap terbang dan semua sistem bekerja dengan sempurna. Percaya saja. Termasuk percaya sepenuhnya pada komando sang pilot dan awaknya.
Begitu pun ketika berada di dalam mobil. Baik memegang setir, duduk di samping sopir, atau duduk di belakang, sedapat mungkin saya akan memasang sabuk pengaman dan memastikan sabuk itu terpasang dengan benar. Tidak seperti kebiasaan sopir yang memasang sabuk pengaman kalau ada razia saja, sekalipun sudah diingatkan masih suka terulang, namanya juga kebiasaan.
Maklumlah, saya merasa tak berdaya dan ringkih ketika berada di dalam kendaraan. Bisa saja terjadi semua perlengkapan keamanan telah difungsikan dengan benar, sudah taat peraturan lalu lintas, dan telah pula berhati-hati akan tetapi pangkal bala bisa datang dari orang lain yang nyelonong nabrak.
Yang dapat saya lakukannya hanya memastikan semua perlengkapan keselamatan difungsikan dengan benar, mematuhi rambu-rambu lalu lintas, mematuhi batas kecepatan, dan selebihnya berhati-hati. Di atas semua itu hanya bisa pasrah. Benar-benar nasib yang bicara.
Begitulah. Kalau sudah di atas kendaraan hanya ada dua pelukan yang mendatangkan rasa aman. Yakni, pelukan kendaraan itu sendiri dan pelukan Tuhan. Apalah daya daging manusia yang lunak. Pun, sekeras-kerasnya tulang tetap lebih keras aspal.
(SP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H