Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik

Awalnya Tak Anggap Penting Pancasila

5 Januari 2013   01:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:30 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebetulan saya salah satu penulis yang getol mengangkat tema-tema Pancasila di Kompasiana ini. Padahal, dulu, saya tak anggap Pancasila itu sebagai hal penting. Ini benar. Sekalipun saya belajar hukum tata negara dan sejarah. Tetap saja saya anggap Pancasila itu tak penting.

Periode awal 1990 sampai era awal Reformasi tahun 1996-97, saya masih menganggap Pancasila sebagai tak penting. Saya sering mencemooh apa hebatnya Pancasila: Ketuhanan YME, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawartan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagi saya lebih baik jika negara yang dihuni mayoritas muslim ini diatur dengan syariat Islam, sesuai agama mayoritas.

Bukankah itu lebih baik dan diridhoi Allah Swt? Begitu tanyaku waktu itu dengan keheranan terhadap orang yang anggap Pancasila sebagai penting bagi dasar negara. Dada saya masih sering panas ketika ada yang nyeletuk dalam diskusi "negara ini 'kan bukan negara agama?!" Bagi saya syariat Islam adalah harga mati.

Sampai kemudian kulihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kerusuhan SARA terjadi di Indonesia pada era Reformasi, ini setelah keran kebebasan berpendapat dibuka lebar-lebar di seluruh Indonesia. Terutama kerusuhan Mei 1998 di Jakarta yang menindas etnis Tionghoa, kerusuhan Ambon, Poso, dll. Kerusuhan-kerusuhan SARA ini terlihat mengoyak persatuan bangsa dan mengancam negara, tempat saya dan keluarga hidup sehari-hari.

Pada titik itulah saya mulai berpikir bahwa masalah bangsa ini riel, nyata. Diperlukan perekat bersama bagi kebhinnekaan dan itu mustahil diambil bulat-bulat utuh dari norma agama mayoritas atau dari agama minoritas yang ada di Indonesia. Norma bersama itu mesti mengayomi semua karena negara hakikatnya adalah organisasi bersama, bukan organisasi agama.

Maka, saya mulai menggali kembali nilai-nilai Pancasila. Namun kali ini penggaliannya lebih meresap karena dibenturkan dengan realitas masalah yang kongkrit. Perenungannya lebih dalam. Termasuk perenungan tentang hakikat sebenarnya dari organisasi besar yang disebut "negara". Suatu pergulatan pemikiran yang cukup serius untuk orang dengan kapasitas intelektual pas-pasan seperti saya.

Akhirnya saya berkesimpulan bahwa Pancasila itu rasional sekali sebagai "norma fundamental negara" (staatsfundamentalnorm), yang penjabarannya lebih lanjut dituangkan dalam UUD 1945. Dimana UUD 1945 per teoritis biasa disebut sebagai "aturan dasar/pokok negara" (staatsgerundgesetz).

Jika Pancasila ibarat sebuah pondasi pada sebuah rumah, maka UUD 1945 menjadi unsur pembentuk sehingga jadi rumah beneran: lantai, dinding, kusen, atap, dan perabotan isinya. Di rumah besar ini setiap orang bebas menjalankan agama masing-masing dan dilindungi oleh negara. Tidak ada istilah "agama utama" dan "agama tidak utama", mayoritas dan minoritas diperlakukan sama dan setara.

Kesadaran di atas lahir setelah dibenturkan dengan masalah nyata di negara ini dan setelah melalui pergulatan pikiran yang cukup panjang. Hal mana tidak lahir dari pendidikan Pancasila (P4) di sekolah formal. Pendidikan Pancasila di sekolah formal tak lebih hanya hafalan, tidak ada penghayatan terhadap konteks yang tepat, juga terhadap realitas nyata di masyarakat dan pemerintahan.

Saya adalah generasi muda yang bukan lahir dari penataran Pancasila pola 24 jam, 30 jam, 100 jam, 120 jam dan seterusnya. Juga bukan generasi muda yang memahami Pancasila dari indoktrinasi di kursus-kursus seperti Lemhanas. Saya adalah contoh generasi muda yang mencoba meresapi makna Pancasila dan urgennya Pancasila bagi negara dan bangsa ini justru dari pencarian sendiri, dari pergulatan pikiran yang penuh kesadaran.

(SP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun