[caption id="attachment_204893" align="aligncenter" width="196" caption="Nikita Mirzani. Foto: @NikitaMirzani"][/caption] Disaat orang sibuk membicarakan pernikahan kilat Bupati Garut HM Fikri, nah, mari sejenak menoleh ke soal penahanan artis hot kontroversial Nikita Mirzani. Dikutip dari detikcom, Nikita sudah ditahan hampir 50 hari, sejak tanggal 17 Oktober lalu, dan sekarang dikhabarkan segera akan mengajukan praperadilan terhadap penyidik yang menahannya di Polda Metro Jaya, dengan alasan penyidikan sudah selesai tapi ybs masih ditahan. Sejatinya, penahanan bukan wujud penghukuman dini. Melainkan untuk kepentingan penyidikan. "Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan," demikian kata Pasal 20 ayat (1) KUHAP. Dalam kaitan ini, jika penyidikan sudah selesai maka kepentingan menahan juga tidak ada lagi. Pelaksanaan penahanan itu harus pula memenuhi syarat objektif dan syarat subjektif penahanan yang ditentukan KUHAP. Syarat objektif meliputi pidana-pidana tertentu dimana tersangkanya dapat ditahan. Sementara, syarat subjektif adalah penilaian aparat yang akan menahan apakah ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana. Jika relevansi penyidikan sudah tidak ada lagi---penyidikan sudah selesai---dan penilaian subjektif bahwa tersangka tidak akan melarikan diri (dengan adanya jaminan yang meyakinkan) dan tidak akan menghilangkan barang bukti (karena barang buktinya sudah disita semua), maka penahanan harusnya tidak perlu dilakukan. Dalam kasus tertentu yang sangat membahayakan---seperti kasus pembunuhan, pemerkosaan, terorisme, dsb---penahanan menjadi tidak terhindarkan. Kecenderungan di lapangan penahanan jadi wujud penghukuman dini yang terselubung. Seolah tersangka sudah bersalah dan dijatuhi vonis. Padahal, yang berwenang untuk menghukum orang adalah hakim. Â Penyidik cuma mengusut saja. Kalau pengusutan sudah selesai maka selesai pula relevansi menahan orang. Kembali ke rencana praperadilan oleh Nikita. Permasalahannya, konsep hukum praperadilan dalam KUHAP hanya untuk menguji keabsahan penahanan, yang parameternya biasanya berdasarkan dokumentasi administratif berupa surat perintah penahanan yang sudah harus ada sebelum aksi penahanan dilakukan. Jika surat perintah penahanannya ada dan surat perintah penahanan tersebut dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang maka penahanan dikatakan sah. Dengan kata lain, pengujian keabsahan penahanan melalui lembaga hukum praperadilan tidak mencakup persoalan apakah penahanan seseorang tersangka masih relevan atau tidak. Hanya perlu diingat bahwa terkadang praperadilan hanya gertak pengacara saja. Tujuannya supaya proses hukum dipercepat. Biasanya penyidik akan buru-buru melimpahkan kasusnya ke penuntut umum jika terdengar ada rencana praperadilan. Sebabnya, praperadilan otomatis gugur jika perkaranya sudah disidangkan di pengadilan. Makanya penyidik buru-buru melimpahkan kasus supaya praperadilan gagal/gugur.(SP)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI