[caption id="attachment_213217" align="aligncenter" width="423" caption="Lakalantas maut di Padang, 12 Nov 2011, pukul 17.00 Wib. Satu korban tewas, pengendara BA 4266 JY. Foto: Sutomo Paguci."][/caption] 12 November 2011, pukul 17.00 Wib. Aku lagi berdiri di tepi jalan dekat rumah ketika sebuah pengendara sepeda motor tiba-tiba menyenggol pintu mobil Mitsubishi L300, motor lalu oleng ke tengah jalan, terjatuh, lalu dilindas truk molen milik PT Semen Padang.
Terdengar suara gruk! gruk! trek! Ketika motor dan penumpangnya dilindas truk.
Tak terdengar suara lolongan si pengendara. Sedikitpun tidak. Dalam per sekian detik kulihat dengan mata telanjang saat motor dan tubuh si pengendara dilindas truk, tengkorak kepala pecah, dan otak muncrat.
Coba lihat foto itu. Yang terlihat putih di dekat helm yang pecah adalah otak si pengendara.
Banyak lagi ceceran otak bermuncratan hingga ke tepi jalan dan menempel di pembatas tengah jalan, di bawah kaki warga bercelana merah adalah salah satunya.
Dengan cepat aku berlari mendekati korban, lalu balik lagi ke rumah untuk mengambil koran guna menutupi jenazah.
Ratusan orang segera berkerumun di sekitar tempat kejadian perkara.
Walau telah ditutupi tapi tetap saja orang-orang menyingkapkan penutup untuk mengambil foto korban. Aku hanya mengambil foto setelah korban ditutupi koran. Tak tega.
Kejadian lebih kurang sama beberapa kali kulihat di jalan. Sungguh tragis. Beberapa korban bahkan tidak sempat berteriak sebelum ajal menjemputnya.
Apa yang terlintas di pikiran korban per sekian detik sebelum ajal menjemputnya? Entahlah.
Dulu, tahun 1982, bapak pernah tertimpa pohon besar yang roboh ditebangnya. Bapak keliru arah berlari. Tahunya berlari ke arah pohon rebah.
Terdengar deru pohon ke arah bapak. Bapak terjatuh dan tak sempat lagi menghindar. Bapak teriak "matiiiiii!". Dummmm! Bressss! Suara batang kayu berdebum mengenai tanah dan suara angin berdebas dikipas daun kayu yang mengenai tanah.
Aku, yang waktu itu baru berumur 7 tahun, hanya berdiri terpaku. Mematung. Kupikir bapak pasti mati.
Tahunya tidak. Bapak tidak mati. Beliau keluar dari bawah batang pohon yang telah membujur di atas tanah.
Sebuah batang kayu melintang seukuran betis orang dewasa menyelamatkan bapak.
Kata bapak kemudian, waktu ia berteriak 'matiiiii!', pikirannya sudah kosong. Ia sudah yakin akan mati. Â Sehingga aku sempat berpikir lugu. Sebaiknya berteriak 'mati!' kalau mendapat kecelakaan supaya tidak jadi mati beneran.(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H