Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik

Baasyir, Pancasila Itu Sudah Final

14 September 2012   14:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:28 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_199053" align="aligncenter" width="460" caption="Abu Bakar Baasyir. Foto: Jewel Samad/AFP/Getty Images"][/caption] Salah satu kebiasaan jelek yang harus diakui pada sebagian umat adalah suka bertengkar sesudah keputusan dibuat. Baik dalam kehidupan bernegara mapun dalam suatu perkara. Ketika perkara sedang disidang di pengadilan itulah saat yang tepat untuk berdebat. Ketika perkara sudah divonis hakim dan telah berkekuatan hukum tetap maka perdebatan harus berhenti dan berganti dengan kepatuhan pada putusan hakim sebagai pemutus akhir. Nah, di sebagian kita masih aja terus berdebat. Sudah mau eksekusi pun masih melawan. Perdebatan soal Pancasila harusnya telah berakhir ketika dasar negara Indonesia tersebut disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dan diundangkan bersama Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No 7. Kalau mau berdebat harusnya sebelum pengesahan tersebut. Sudah diberi waktu leluasa oleh BPUPK untuk memperdebatkan dasar negara. Yang terjadi, sebagian energi vital bangsa ini tergerus untuk perdebatan, pemberontakan, makar, dan teror bom untuk apa yang disebut mengganti dasar negara Pancasila menjadi Syariat Islam dan bentuk negara NKRI menjadi Negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Mulai dari NI/DI TII sampai Abu Bakar Baasyir. Terpidana 15 tahun penjara dalam kasus terorisme, Abu Bakar Baasyir, belum lama ini mengarang buku Demokrasi Bisikan Setan dan mengirimkan bukunya ini ke Presiden SBY dan beberapa ulama yang dinilainya keliru menjalankan syariat Islam. Bagi Baasyir, negara Indonesia yang mayoritas muslim harusnya dikelola dengan cara Islam, bukan dengan Pancasila. Kita bisa saja menghormati kebebasan menyatakan pikiran baik lisan maupun tulisan dalam konteks Baasyir ini, akan tetapi pikiran-pikiran sparatis dan makar ala Baasyir demikian terbukti dapat menginspirasi kaum muda dan tua dalam gerakan teroris mengganti dasar negara Pacasila yang disebut sebagai "thogut". Idealnya, orang tua seperti Baasyir lebih bijaksana. Ia tidak berkontribusi apapun bagi pendirian negara Indonesia, termasuk perumusan Pancasila, dan UUD 1945. Baasyir hanya mewarisi saja dari para pendiri bangsa. Harusnya, ia legowo menerima keadaan dan tidak menjadi ispirasional dari kaum teror. Ingat, perdebatan dasar negara sudah berakhir. Indonesia sebagai negara bangsa sudah berdiri final, kokoh, dengan segala unsur bekerja sesuai sistem kenegaraan demokrasi modern. Tidak mungkin lagi mundur ke belakang, berdebat lagi tentang dasar negara dan bentuk negara. Itu sudah selesai, dulu di BPUPK. Kalau mau juga mendirikan negara lain dengan dasar negara dan bentuk negara yang sama sekali lain yaitu Negara Islam dengan Syariat Islam sebagai aturannya maka cari saja planet kosong di gugus galaxy atau tata surya lain. Yang jelas atas nama di bumi sudah terbagi habis dengan negara-negara lain. Di Indonesia juga tidak bisa lagi karena Pancasila tidak bisa lagi diubah dan bentuk negara NKRI sudah final dan tak bisa diubah [Pasal 37 ayat (5) UUD 1945]. Di Malaysia gerakan Baasyir tidak laku dan ia terusir dari sana. Di Indonesia Baasyir justru dapat panggung dan dapat pengikut yang tidak sedikit. Mengapa Baasyir bisa leluasa menyatakan pikiran makar dan membentuk organisasi garis keras adalah berkat iklim demokrasi dan Pacasila yang dikutukinya habis-habisan. Dengan kata lain, Baasyir mengutuk demokrasi sekaligus menikmatinya. Ya, kalau perjuangan itu mungkin menang. Perjuangan seperti Baasyir nyaris mustahil menang. Yang terjadi malah huru-hara yang membuat kehidupan negara terganggu, kehidupan ekonomi terganggu, dan masa depan bangsa terganggu, termasuk masa depan anak-anak saya ikut terganggu. Di sini kepentingan pragmatis kita mulai diusik. Orang seperti Baasyir dkk sedang memainkan nasib kita dan anak cucu kita untuk suatu pepesan kosong Negara Islam bisikan setan. Satu kata, lawan! ------------ Artikel Terkait: Kompasiana.com, Negara Islam Bisikan Setan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun